Pada kesempatan itu, Audy juga tidak memungkiri bahwa sumber PAD Sumbar sangat terbatas hanya pada Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), pajak bahan bahan bakar kendaraan bermotor, pajak air permukaan, dan cukai rokok.
Bahkan, menurut Audy, justru pemerintah kabupaten/kota yang sebenarnya pendapatan daerahnya lebih banyak. “Kalau kabupaten/kota ada pajak bumi bangunan, pajak konsumen, hotel, dan rumah makan. Pendapatannya lebih banyak dibandingkan Pemprov,” tutur Audy.
Kenyataannya sekarang, proporsi PAD antara pemerintah kabupaten/kota di Sumbar dengan pemerintah pusat masih timpang. Bahkan, PAD pemerintah kabupaten/kota di Sumbar hanya 20 persen paling tinggi. Ada juga cuma 8 persen dan 7 persen.
“Kalau dibandingkan dengan DKI Jakarta, PAD-nya paling besar itu bisa mencapai Rp73 triliun. Sementara, Pemprov Sumbar cuma Rp2,7 triliun. Karena di Jakarta, dengan menerapkan digitalisasi, perantau yang masuk ke Jakarta, hotel dan restoran di Jakarta pajaknya dipotong,” kata Audy.
Oleh karena itu, Audy mendorong pemerintah kabupaten/kota harus banyak kreasi dan lebih kreatif. Audy mencontohkan kondisi di Kabupaten Kepulauan Mentawai. Jika daerah ini mampu menerapkan digitalisasi, maka potensi PAD akan sangat besar. Apalagi Mentawai didatangi oleh banyak sekali wisatawan mancanegara.
“Bayangkan saja jika wisatawan mengeluarkan biaya USD100 per hari, sementara mereka tinggal selama 10 hari, berapa ratus miliar uang masuk. Jika saja pajak diambil 10 persen saja dari 90 ribu wisatawan, maka PAD Mentawai luar biasa, bisa mencapai USD900.000,” tuturnya.














