“Situasi saat ini HGU-HGU perkebunan monokultur sebagian sudah dan akan berakhir. Kita tahu bahwa lokasi yang ini dibebani perkebunan seluruhnya tanah ulayat, dan itu pada zaman Orde Baru di akhir tahun 1980-an sampai 2000-an investasi besar. Sejak mereka hadir justru menghadirkan konflik,” katanya.
Pembuatan peta jalan atau roadmap penyelesaian konflik agraria ini diharapkan dapat mengurai konflik yang sudah terjadi bertahun-tahun di Kabupaten Dharmasraya, Agam, Solok Selatan, Pasaman, dan Pasaman Barat hingga Mentawai.
Secara khusus, Walhi juga mendesak penyelesaian akar encana ekologis yang terjadi sepanjang tahun di hampir seluruh kabupaten/kota. Situasi ini terjadi akibat akumulasi krisis ekologis, ketidakadilan, dan salahnya sistem pengurusan alam.
Adapun akar bencana ekologi itu di antaranya adalah investasi dan pembangunan tidak berbasis pada aspek mitigasi bencana. Seperti tambang galian C di Air Dingin, Solok yang izinnya bahkan diterbitkan di kawasan Sesar Semangko. “Contoh berikutnya, pembangunan pada kawasan Lembah Anai. Untuk urusan ini perlu satu upaya konkret audit lingkungan hidup secara utuh dan menyeluruh,” ucapnya. (*)














