PADANG, HARIANHALUAN.ID — Guru Besar Ekonomi Universitas Andalas (Unand) lainnya, Prof. Harif Amali Rivai menilai, skema obligasi SUD memang menjadi salah satu alternatif pembiayaan yang bisa ditempuh pemda di tengah kebijakan pemangkasan anggaran yang diberlakukan pemerintah pusat.
Melalui penerbitan obligasi SUD, pemda bisa menyelenggarakan investasi yang bermanfaat bagi publik dan menghasilkan penerimaan bagi daerah sebagaimana yang telah diatur oleh Direktorat Perimbangan Kemenkeu.
“Selama ini Sumbar memang belum pernah menempuh opsi ini, begitupun dengan daerah lain. Nah, jika kata Gubernur targetnya pembeli SUD adalah perantau, maka pertanyaannya, apakah ada perantau yang mau berinvestasi lewat obligasi SUD di tengah kondisi ekonomi yang serba tidak menentu seperti ini?” ujarnya kepada Haluan, Minggu (23/2).
Menurutnya, para perantau selaku calon kalangan pembeli obligasi SUD potensial yang disasar Gubernur Mahyeldi pasti punya hitung-hitungan tersendiri sebelum memutuskan berinvestasi. Mereka pasti baru akan mau berinvestasi jika suku bunga yang ditawarkan cukup menjanjikan. Apalagi, resiko investasi jenis ini cukup tinggi mengingat obligasi SUD tidak dijamin oleh pemerintah pusat seperti halnya jenis obligasi lain yang tersedia di pasar modal.
“Jadi, tidak ada jaminan dari pemerintah pusat meskipun daerah menganggarkan hutang jatuh tempo yang harus dibayar dalam APBD. Artinya, tingkat keyakinan investor terhadap obligasi pemda cukup rendah dibandingkan dengan obligasi yang ditawarkan pemerintah pusat,” ucapnya.
Oleh karena itu, Pemprov Sumbar di bawah kepemimpinan Gubernur Mahyeldi harus benar-benar bekerja ekstra keras untuk meyakinkan calon investor untuk membeli lembaran obligasi SUD yang akan dijual kepada publik.
“Jika asumsinya perantau akan membeli obligasi dengan harapan jatuh tempo bunga setahun atau tiga tahun, maka itu tentu akan bagus. Tapi kondisi perekonomian sekarang, tentu akan menjadi pertimbangan utama bagi semua orang,” ucapnya.
Ia menuturkan, kebijakan pemangkasan anggaran yang diberlakukan Presiden Prabowo Subianto sebenarnya adalah kebijakan yang sama sekali tidak terprediksi. Kebijakan ini berdampak terhadap semua kalangan yang bergerak di sektor swasta maupun nonformal. Oleh karena itu, keputusan untuk berinvestasi dalam jumlah besar melalui skema obligasi SUD hanya mungkin dilakukan oleh orang-orang yang “kelebihan uang”.
“Apalagi ini juga butuh kehati-hatian, karena tidak ada garansi pemerintah pusat terhadap obligasi daerah. Jadi, investasi ini memang cukup riskan dan menimbulkan kekhawatiran karena memang belum pernah ada cerita suksesnya di daerah manapun,” katanya.
Dalam kondisi ekonomi yang bagus dan stabil, obligasi SUD memang salah satu instrumen investasi yang sangat menjanjikan. Namun di tengah kondisi perlambatan ekonomi seperti saat ini, investor pasti punya kecenderungan untuk menahan investasi.
“Belum lagi adanya keraguan masyarakat terhadap integritas pengelola investasi. Ini juga akan berpengaruh terhadap keputusan publik untuk berinvestasi. Orang akan lebih memilih berinvestasi di lembaga profesional dibandingkan ke lembaga yang dikelola birokrasi,” katanya.
Oleh karena itu, ia menekankan perlunya kajian komprehensif dan perencanaan yang matang dari pemda sebelum memutuskan membuka opsi investasi obligasi SUD yang diapungkan Gubernur Mahyeldi tersebut. “Sebab bagaimanapun, investor akan berpikir soal profit. Garansi jaminan investasi dan sebagainya. Ini menjadi tantangan bagi pemda,” katanya. (*)














