Basilang Kayu di Tungku Mangko ka Masak
Dalam diskusi budaya itu, tidak duduknya pokok persoalan berkesenian di Sumbar memang harus membutuhkan kejelasan untuk langkah ke depan. Seperti yang dikatakan akademisi budaya dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas, Dr. Hasanuddin, M.Si. Ia juga sepakat kalau lembaga kebudayaan salah urus yang memang didasari karena tidak memahami berkesenian secara penuh.
“Dalam hal promosi kebudayaan ini memang sebagai salah satu jalan. Tentunya diharapkan adanya keterlibatan dari seniman atau budayawan yang memang tahu dan mampu di bidangnya. Karena seniman dan budayawan juga sarangnya untuk menggerakkan itu,” katanya.
Kalau dikaitkan dengan keterbatasan anggaran, Hasanuddin tidak yakin anggarannya akan dibilang terbatas, meski dihadapi efisiensi sekalipun. “Saya menilai justru kebudayaan itu anggarannya besar. Membuat satu perda saja itu biayanya satu miliar rupiah. Kalau dana sebesar itu, untuk satu eksekusi kegiatan kebudayaan saja sudah sangat besar itu,” katanya.
Sekretaris Dinas Kebudayaan Sumbar, Yayat Wahyudi mewakili pemangku kebijakan yang bertanggung jawab urusan kebudayaan ini mengatakan, setelah hasil diskusi ini memang diperlukan penajaman dari yang telah dimusyawarahkan.
“Kami kalau dari dinas sendiri telah memaksimalkan iventarisasi kebudayaan yang disesuaikan dengan bidangnya. Acuan kita jelas UU No 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan,” katanya.
Namun dalam penyelenggaraan kegiatan seni budaya yang masif, Yayat Wahyudi mengakui memang tidak berkembang. Kegiatan hanya cenderung sifatnya pasar karena sebagian besar dananya hanya dari pokir anggota dewan. “Sehingga kita terbatas pula jadinya untuk itu,” katanya.
Dr. Abdullah Khusairi juga menyentil persoalan seni budaya seharusnya. Kebudayaan sesungguhnya adalah soft power dalam arus global. Jadi mantapkan pengelolaannya, sebab dinas memang harus mendorong Taman Budaya untuk bergerak.














