AGAM, HARIANHALUAN.ID- Sudah lebih 14 tahun Keni (32) mendampingi Ferdiansyah, buah hatinya yang memiliki kondisi istimewa. Keni tetap tegar meski pekerjaan tak menentu dan harapan menggantung di ujung doa.
Di sudut sebuah rumah sederhana, di Koto Batu, Jorong VI Parit Panjang, Kecamatan Lubuk Basung, terdengar suara riang Ferdiansyah yang tengah memainkan buah pinang.
Di usianya yang menginjak 14 tahun, Ferdiansyah tak seperti anak-anak pada umumnya. Ia tak bisa melihat, tak bisa berjalan, dan menghabiskan harinya dengan berbaring atau duduk sambil menyeret tubuhnya pelan-pelan.
Namun, di balik keterbatasannya, senyum dan tawa Ferdi selalu menjadi penguat sang ibu, Keni, paman dan neneknya.
Ferdiansyah didiagnosa menderita hidrosefalus sejak masih bayi. Sejak anaknya diagnosis penyakit tersebut, kehidupan Keni berubah total. Ia harus menerima kenyataan bahwa Ferdi akan tumbuh dengan berbagai keterbatasan.
“Waktu itu masih bayi umurnya sekitar 7 bulan. Dokter bilang, Ferdi didiagnosa hidrosefalus,” kenang Keni dengan suara lirih.
Karena kondisi ekonomi yang sulit, sejak bayi Ferdiansyah dibesarkan oleh neneknya. Sementara Keni harus merantau ke Teluk Kuantan untuk bekerja memenuhi kebutuhan sang anak.
Namun takdir berkata lain. Dua bulan lalu, sang nenek, Deswita yang selama ini merawat Ferdiansyah, meninggal dunia. Keni pun tak punya pilihan lain selain pulang dan merawat Ferdi sendiri.
“Saya sekarang sudah tinggal penuh di rumah. Enggak kerja, karena harus jaga Ferdi terus. Kadang bingung juga, besok makan apa, tapi ya gimana lagi,” ujar Keni.
Meski kondisi Ferdiansyah terbilang stabil, dan operasi tidak terlalu dibutuhkan saat ini, kebutuhan sehari-hari tetap menjadi tantangan besar.
“Ferdi bisa duduk, bisa ngesot, tapi enggak bisa jalan. Penglihatannya juga enggak ada. Jadi aktivitasnya cuma main buah pinang atau berbaring saja,” kata Keni.
Satu hal yang selalu membuat Keni terjaga di malam hari bukan lagi soal medis atau rumah sakit, melainkan soal perut.
“Kalau untuk makan sehari-hari, itu yang paling saya pikirkan. Paling tidak, saya bisa kasih makan Ferdi dengan layak,” harapnya
Ia tak meminta banyak. Ia tahu hidup ini sudah memberinya banyak ujian. Tapi sebagai ibu, Keni hanya ingin satu hal, anaknya bisa terus sehat dan kebutuhannya bisa terpenuhi.
Kisah Keni dan Ferdi bukan hanya soal penderitaan, tapi tentang kekuatan cinta seorang ibu. Di tengah keterbatasan, mereka terus bertahan. Dengan senyum, dengan doa dan dengan semangat yang tak mudah padam.
Bagi Keni, Ferdi bukan beban. Ia adalah anugerah. Dan untuk anugerah itu, ia rela mengorbankan segalanya sembari berharap ekonominya bisa membaik. (*)














