Oleh : Nova Novita (Mahasiswa Magister Universitas Negeri Padang)
Demokrasi di Indonesia ibarat “nyala lilin” dalam ruang yang penuh angin, menyala, bergetar, terkadang nyaris padam, tapi terus bertahan. Indonesia patut berbangga karena mampu mempertahankan sistem demokrasi selama lebih dari dua dekade pasca-Reformasi. Pemilihan umum langsung, kebebasan pers, serta partisipasi masyarakat sipil merupakan capaian penting dalam perjalanan bangsa ini menuju sistem yang lebih terbuka dan akuntabel. Akan tetapi, demokrasi sejati tidak hanya diukur dari keberlangsungan pemilu lima tahunan saja tetapi dari kualitas partisipasi, keadilan dalam akses politik, dan ruang deliberatif bagi semua warga negara.
Sejak era Reformasi 1998, bangsa ini telah menapaki jalan demokrasi dengan segala dinamikanya dimulai dari pemilihan umum langsung, kebebasan pers, hingga partisipasi masyarakat sipil yang semakin menguat. Namun, demokrasi bukan sekadar sistem yang dibangun oleh institusi dan prosedur, melainkan kultur yang harus dirawat oleh semua elemen bangsa.
Hari ini, politik demokrasi Indonesia menghadapi paradoks. Di satu sisi, kita menyaksikan pesta demokrasi lima tahunan yang meriah, dipenuhi semangat partisipasi masyarakat. Tapi di sisi lain, substansi demokrasi kerap tersandera oleh pragmatisme politik, politik identitas, dan oligarki kekuasaan. Pemilu menjadi ajang mobilisasi kekuatan finansial dan media, bukan kontestasi ide dan gagasan untuk masa depan bangsa.
Ironisnya, demokrasi Indonesia hari ini sedang diuji, bukan hanya oleh tantangan eksternal, tetapi juga oleh dinamika internal yang terkadang memudarkan makna sejatinya. Di tengah hiruk-pikuk kampanye, kontestasi elite politik, dan perdebatan di media sosial, demokrasi tampak hidup.
Namun, di balik gemerlap pesta demokrasi suara rakyat yang seharusnya menjadi roh demokrasi terkadang direduksi menjadi angka statistik semata. Politik transaksional masih menjadi realitas pahit yang menggerogoti makna representasi rakyat. Bahkan, elite politik kerap terjebak dalam logika kuasa ketimbang visi kenegaraan yang visioner dan beretika.terdapat persoalan substansial “apakah demokrasi kita benar-benar milik rakyat, atau hanya sekadar panggung elitis untuk mempertahankan kekuasaan?
Namun, demokrasi Indonesia belum mati. Ia hanya lelah, terengah-engah mencari bentuk idealnya di tengah derasnya tantangan zaman. Dan di sinilah harapan itu menyala didalam kesadaran kritis warga negara, terutama generasi muda mulai bangkit dengan kesadaran politik yang lebih kritis. Mahasiswa, pelajar, jurnalis independen, komunitas sipil, dan aktivis akar rumput terus mengisi ruang kosong yang ditinggalkan oleh elite politik. Mereka menggelar diskusi, melakukan advokasi, memantau pemilu, hingga menciptakan ruang-ruang literasi digital untuk melawan narasi-narasi manipulatif.
Demokrasi harus dikembalikan kepada rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Ini berarti memperluas ruang partisipasi publik, menjamin kebebasan berekspresi dan berorganisasi, serta memastikan keterwakilan politik yang inklusif bagi perempuan, pemuda, dan kelompok minoritas. masyarakat sipil terus mengawal isu-isu demokrasi, HAM, dan keadilan sosial. Di sinilah titik terang demokrasi Indonesia semangat kritis dan partisipatif yang tidak padam meski menghadapi tekanan. Demokrasi bukan sekadar tentang siapa yang menang dan siapa yang kalah, tetapi tentang bagaimana semua warga negara dihormati haknya dan didengar suaranya.
Sudah saatnya kita menegaskan kembali bahwa demokrasi bukan tujuan, melainkan proses panjang menuju kehidupan berbangsa yang lebih adil, setara, dan bermartabat. Demokrasi tidak bisa hanya didelegasikan kepada elite, tetapi harus ditumbuhkan dalam kesadaran setiap warga Negara dari ruang kelas, meja makan, hingga bilik suara. Jika demokrasi ingin tetap hidup di Indonesia, maka ia harus Menjaga nyala demokrasi berarti merawatnya setiap hari melalui pendidikan politik, literasi kewargaan, dan keberanian untuk bersuara kritis. Pendidikan Kewarganegaraan harus menjadi fondasi utama dalam membentuk generasi yang tidak hanya tahu tentang hak dan kewajiban, tetapi juga sadar akan peran strategisnya dalam menjaga kehidupan demokratis.
Di tengah riuh politik Indonesia yang sering memekakkan telinga, mari kita jadi nyala kecil yang tetap hangat dan terang. Kita tidak boleh puas hanya dengan simbol-simbol demokrasi saja namun Demokrasi juga membutuhkan praktik yang nyata, integritas yang hidup dalam sistem, dan warga negara yang peduli serta aktif. Demokrasi yang hanya hidup di atas kertas, namun mati dalam praktik, adalah demokrasi yang hampa. Oleh Karena itu ketika semua orang memilih diam, demokrasi bisa padam. Dan ketika demokrasi padam, yang hilang bukan hanya sistem politik, tetapi martabat kita sebagai warga negara. Maka, tugas kita sebagai warga bangsa adalah memastikan bahwa demokrasi tidak hanya berlangsung, tetapi juga berkembang dan memanusiakan. (*)










