Permasalahan klasik yang kerap muncul dalam pengembangan UMKM di nagari adalah rendahnya kesadaran akan tanggung jawab dan kecenderungan mengedepankan bantuan finansial dibandingkan inisiatif dan kerja keras.
“Banyak orang yang ketika ditanya soal partisipasi, justru lebih dulu bertanya tentang uang saku atau bantuan. Padahal, yang harus diprioritaskan adalah tanggung jawab dan kemauan untuk bekerja. Jangan berpikir bantuan dulu, tetapi kerjakan dulu apa yang bisa dilakukan dengan kemampuan sendiri,” katanya.
Ia berpendapat bahwa menjalankan usaha secara individu lebih efektif ketimbang membentuk kelompok besar yang sering kali tidak efisien. Menurutnya, terlalu banyak orang dalam satu kelompok justru berpotensi menimbulkan kebingungan pembagian tugas dan lemahnya kontrol.
“Kalau terlalu banyak orang dalam satu kelompok, seringkali justru tidak ada yang benar-benar bertanggung jawab dan tugas menjadi tidak jalan. Oleh karena itu, memulai dari diri sendiri adalah langkah paling realistis,” tuturnya.
Menurutnya, modal utama dalam menjalankan bisnis bukanlah uang atau dukungan eksternal, melainkan kerja keras yang konsisten dan semangat pantang menyerah. Ia bercerita bahwa dirinya memulai usaha tanpa bantuan siapapun dan hanya mengandalkan keyakinan serta kerja keras yang terus-menerus.
“Saya memulai usaha benar-benar dari nol. Tidak ada yang bantu, tidak ada modal besar. Saya percaya bahwa 30 persen keberhasilan ditentukan oleh rezeki, tetapi 70 persen sisanya adalah hasil dari kerja keras. Jadi, tidak cukup hanya berdoa, tetapi juga harus terus bergerak,” katanya.














