“Tidak ada sama sekali perlakukan manusia terhadap bebatuan tersebut, apa dasarnya kemudian tiba-tiba menjadi cagar budaya. Jika ada pola dari permukaan bebatuan itu murni dari hasil bentukan alam, secara alamiah,”ungkapnya.
Menurutnya, alasan untuk menjadi bebatuan di Korong Surantih tersebut menjadi cagar budaya cukup sumir. Karena tidak berdasarkan kajian secara teori yang valid.
Ia menuturkan, jika batu tersebut dijadikan cagar budaya karena pernah digunakan sebagai Mejan untuk kuburan Syech Burhanuddin, maka seharusnya yang dijadikan cagar budaya adalah Mejan kuburan tersebut.
“Jadi bukannya sumber batunya yang dijadikan cagar budaya. Tapi mejannya. Yang pasti, tidak ditemukan unsur budaya, atau perlakukan manusia dalam pembentukan kekar kolom itu,”jelasnya.
Menurut Ade, ada yang menyatakan bahwa penetapan kekar kolom batu tersebut sebagai cagar budaya dilakukan karena ditemukan adanya semacam bentukan, seperti ukiran atau berbentuk pisau.
Selaku Geolog, ia memastikan bahwa bentukan itu tercipta secara alami karena perbedaan komposisi atau pelapukan yang pada akhirnya membentuk keseragaman yang komplek.
“Mana ada manusia mengukir seperti itu, kemudian ditanam lagi. Ada juga yang mengatakan kekar kolom itu berbentuk lesung. Ini juga terbantahkan setelah adanya penelitian ahli geologi. Bentuk lesung itu terbentuk karena gumpalan batu tersebut melapuk dari tengah. Karena bagian tengah cenderung lebih lunak. Sehingga terbentuk cekungan yang kemudian dikatakan lesung,” jelasnya.














