“Fenomena itu kan setelah adanya penambangan terlihat, jadi dari awal tidak ada ditemukan,”sebutnya.
Dikatakannya, penetapan cagar budaya yang berdempetan dengan izin penambangan galian C tersebut karena perbedaan sudut pandang. Dari awal, secara geologi tidak ada ditemukan efek aktivitas manusia pada bebatuan di Korong Surantih, sementara potensi untuk penambangan ada.
Dengan dasar itu, maka, Dinas Energi dan Sumbar Daya Mineral (ESDM) memberikan izin untuk penambangan galian C. Tiba-tiba saat ekplorasi ditemukan ada pola menarik dari bebatuan tersebut, kemudian orang budaya menyatakan itu adalah cagar budaya.
“Waktu izin diproses sampai ditetapkan, ada waktu penyelidikan kami orang pertambangan, ada potensi batu yang bisa di eksploitasi dan ditambang. Sementara yang mengurus izin, sah mengikuti sesuai aturan yang berlaku. Terbitlah izin, izinnya legal, seiring dengan beraktivitas, ada fenomena yang menarik. Bagi goelogi, itu lumrah. Batu macam-macam, bentuk,” jelasnya.
Menurutnya, alur permukaan batu tersebut dimanapun di dunia ini, selalu ada. Karena terbentuk oleh proses alam. Dari surut pandang geologi, sah-sah saja batu tersebut di tambang.
“Diakui, ada bentuk batuan yang agak unik. Kami berharap, ada solusinya. Fenomena unik ini, terlokalisir. Kemudian aktivitas penambangan tetap jalan,” pungkasnya. (*)














