Oleh: Helsi Zulfan Ramadani
Dosen Studi Humanitas ISI Padangpanjang
Pergaulan bebas saat ini bukan lagi hal yang asing di telinga masyarakat. Ia bukan hanya sekadar kabar dari media sosial atau potongan berita nasional, tapi kini menjadi bagian dari keresahan nyata di tengah masyarakat, termasuk di daerah-daerah yang sebelumnya dianggap aman dari paparan gaya hidup bebas. Bahkan sekolah-sekolah berbasis agama pun mulai merasakan dampaknya.
Beberapa waktu lalu, Program Studi Humanitas ISI Padangpanjang mendapat kesempatan untuk turun langsung menyambangi para pelajar di Madrasah Aliyah Swasta (MAS) Kapalo Hilalang, Padang Pariaman, melalui kegiatan bertajuk Sosialisasi Edukasi Pencegahan Pergaulan Bebas.
Melalui program ini, ada satu hal penting tentang sebuah pelajaran: remaja tidak kekurangan semangat, tapi sering kali kekurangan pendampingan.
Arus Deras yang Tak Terelakkan
Remaja hari ini tumbuh dalam dunia yang sangat terbuka. Informasi datang tanpa diundang. Gawai dalam genggaman menjadi pintu masuk segala bentuk budaya dan nilai—baik yang mendidik maupun yang menyesatkan.
Media sosial memengaruhi gaya bicara, cara berpakaian, hingga cara remaja menjalin relasi. Sayangnya, kebebasan itu sering hadir tanpa filter nilai yang memadai. Akibatnya, batasan antara pergaulan sehat dan pergaulan bebas menjadi kabur.
Kita sebagai orang dewasa—baik itu orang tua, guru, maupun masyarakat—kadang terlalu cepat menyalahkan ketika ada remaja yang terseret arus negatif.
Padahal, sebagian besar dari mereka justru tidak pernah diberi pemahaman secara utuh tentang bahaya pergaulan bebas, serta bagaimana cara menghindarinya. Mereka dilarang, tapi tidak diajak memahami. Mereka ditegur, tapi tidak dibimbing. Inilah akar masalah yang sering luput dari perhatian.










