Dari Ceramah ke Aksi: Belajar lewat Simulasi
Kegiatan Prodi Studi Humanitas ISI Padangpanjang di MAS Kapalo Hilalang bukan sekadar menyampaikan ceramah. Tim yang hadir berusaha menghadirkan suasana belajar yang partisipatif dan menyenangkan. Pengabdi yang terlibat menyampaikan materi melalui pendekatan yang dialogis dan aplikatif, dimulai dari pengenalan tentang jenis-jenis pergaulan bebas, penyebab yang melatarbelakanginya, hingga strategi konkret untuk menghindarinya.
Yang menarik, tim menggunakan metode simulasi sosial. Siswa diberikan studi kasus, seperti bagaimana jika ada teman yang mengajak bolos, atau bagaimana menyikapi ajakan untuk ikut kegiatan yang tidak bermanfaat. Dari situ, tim pengabdi melatih keberanian mereka untuk berkata “tidak” tanpa harus merasa dikucilkan.
Melalui pendekatan ini, tim menyaksikan banyak perubahan. Anak-anak yang awalnya diam, perlahan mulai angkat suara. Mereka merasa aman untuk berbicara dan terbuka dalam diskusi. Salah satu siswa bahkan mengaku, “Ini pertama kali saya bicara soal ini secara terbuka. Di rumah, saya takut disalahkan.” Pernyataan sederhana ini menunjukkan bahwa edukasi yang menyentuh sisi emosional bisa membuka banyak pintu pemahaman baru.
Kearifan Lokal sebagai Pegangan
Minangkabau punya falsafah hidup yang luar biasa kuat: Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK). Di atas kertas, ini menjadi kebanggaan masyarakat. Namun dalam praktiknya, banyak remaja yang tak lagi paham bagaimana menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Budaya malu yang dulu dijunjung tinggi kini mulai pudar, tergeser oleh budaya pamer dan popularitas instan di media sosial.
Melalui diskusi dalam kegiatan ini, tim mencoba menghidupkan kembali nilai-nilai lokal yang relevan. Tim mengajak siswa berdiskusi tentang bagaimana adat Minangkabau mengajarkan batas dalam pergaulan. Pengabdi yang terlibat dalam tim ini mengingatkan bahwa menjaga diri bukan hanya soal aturan agama, tapi juga bentuk penghormatan terhadap diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. Ketika nilai ini dipahami secara personal, bukan sekadar dogma, siswa menjadi lebih sadar akan pilihan-pilihan hidup yang mereka buat.
Peran Guru dan Orang Tua Sangat Menentukan
Pengalaman tim dari Studi Humanitas ISI Padangpanjang mengajarkan satu hal penting: pencegahan pergaulan bebas tidak bisa hanya mengandalkan sekolah. Harus ada sinergi antara pendidik, orang tua, dan lingkungan sosial. Banyak siswa ingin berubah, ingin paham, tapi tidak tahu kepada siapa mereka harus bicara. Ketika di sekolah tidak mendapat perhatian, dan di rumah tidak ada ruang untuk berdiskusi, maka mereka mencari jawaban di luar—dan sayangnya, dunia luar tidak selalu memberikan bimbingan yang baik.
Guru harus diberi pelatihan bukan hanya tentang materi ajar, tetapi juga tentang cara mendampingi remaja dalam proses pencarian jati diri. Orang tua pun perlu membuka ruang komunikasi yang hangat. Remaja zaman sekarang tidak bisa hanya diperintah; mereka ingin didengarkan, dimengerti, dan diperlakukan sebagai individu yang sedang tumbuh.










