Oleh : Afif Permana Aztamurri (Mahasiswa Prodi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Andalas)
Pada 8 April 2025 lalu, Presiden Prabowo Subianto melontarkan rencana kebijakan tentang penghapusan kuota impor di Indonesia. Pernyataan ini merupakan respons atas aturan kenaikan tarif impor yang diberlakukan oleh Amerika Serikat.
Sekejap mata, ucapannya menjadi perintah kepada menteri terkait.
Ia menyampaikannya dalam rangkaian sesi acara Sarasehan Pengusaha di Jakarta, sambil duduk di belakang meja panjang dan didampingi beberapa tokoh terkait. Ia terkesan santai dan seolah curhat tentang program-program yang ingin dilakukannya.
Acara tersebut disiarkan dan potongan video rekamannya viral di media sosial, lalu memancing beragam respons dari berbagai kalangan. Banyak yang sepakat dan mendukung, tidak sedikit pula yang menolak serta mengkhawatirkan dampaknya.
Dukungan terhadap pernyataan imperatif tersebut umumnya karena menilai bahwa saat ini kuota impor hanya dikuasai pihak-pihak tertentu, sehingga memicu permainan harga barang di pasar dan kendala kebutuhan banyak pengusaha.
Sebaliknya, penolakan muncul karena penghapusan kuota impor dimaknai sebagai kebebasan mengimpor produk asing sehingga akan berdampak pada produsen lokal.
Salah satu dukungan datang dari ekonom sekaligus Rektor Universitas Andalas, Efa Yonnedi. Mengutip berita di antaranews.com pada 11 April 2025, ia memprediksi bahwa penghapusan kuota impor dapat meningkatkan daya beli masyarakat. Dengan terbukanya akses terhadap barang impor yang lebih murah, harga komoditas strategis seperti daging dan bahan pokok lainnya berpotensi menurun. Akibatnya, beban pengeluaran rumah tangga terasa ringan. Hal tersebut dipercaya memicu konsumsi domestik dan mendukung pertumbuhan ekonomi regional.
Sementara itu Anggota Komisi IV DPR RI Daniel Johan menyampaikan kritikannya. Mengutip mediaindonesia.com pada 12 April 2025, ia khawatir penghapusan kuota impor akan berdampak serius pada nasib petani, nelayan, dan peternak dalam negeri.
Ia menambahkan, kebijakan ini juga berpotensi mengganggu ketahanan pangan nasional.
Daniel lebih merekomendasikan perbaikan sistem pengaturan impor yang dapat melindungi sektor pangan dalam negeri dan mencegah praktik rente, monopoli, dan kartel.
Hal senada juga disuarakan Ketua Komisi VI DPR RI, Anggia Erma, yang mengatakan bahwa kebijakan tersebut berpotensi meningkatkan impor dari negara maju.
Ia melanjutkan, tanpa antisipasi yang baik, penghapusan kuota impor dapat mengancam keberlangsungan industri dalam negeri dan berisiko pemutusan hubungan kerja massal.
Paradoks Krisis Komunikasi
Penulis menilai, kontroversi yang muncul merupakan akibat dari cara Presiden Prabowo menyampaikan hal yang cukup krusial namun tidak dapat terjelaskan dengan baik kepada khalayak.
Padahal, ia mengakui alasan menggelar sarasehan tersebut karena kelemahan berkomunikasi jajaran bawahannya, sehingga ingin melakukan komunikasi secara langsung yang efektif. Namun, ternyata upayanya juga menambah permasalahan penyampaian pesan dari pemerintah.
Di sini, sebenarnya Prabowo Subianto tengah berupaya menjalankan manajemen atas krisis yang terjadi dalam jajaran pemerintahannya. Mengacu pada definisi menurut Timothy Coombs (2019), krisis organisasi dipahami sebagai suatu peristiwa yang mengancam keberlangsungan organisasi dan dapat merusak reputasi jika tidak ditangani dengan baik.
Krisis yang sedang dihadapi Prabowo setidaknya ada dua, yaitu krisis impor dan krisis komunikasi pemerintah yang mengundang keheranan masyarakat. Masalahnya, manajemen yang disertai komunikasi krisis terhadap kuota impor belum selesai, ia justru menambah deretan bukti krisis komunikasi.
Menurut Doorley dan Garcia (2020), reputasi adalah akumulasi dari persepsi yang dibentuk dari waktu ke waktu yang bukan hanya melalui pernyataan organisasi, tapi lebih banyak melalui apa yang dilakukannya dan bagaimana hal itu dirasakan oleh publik.
Saat ini, terhitung banyak pernyataan jajaran menteri dan pimpinan lembaga pemerintahan yang ‘mengonfirmasi’ jatuhnya reputasi pemerintahan Prabowo Subianto.
Dalam kajian public relations, suatu krisis dapat diperbaiki dengan berfokus pada pemberian tanggapan dengan cepat dan kejujuran berkelanjutan (Doorley dan Garcia, 2020).
Hal tersebut juga dapat diterapkan pada krisis komunikasi, walaupun sepertinya sulit karena bersifat paradoks.
Buktinya, Prabowo Subianto baru jujur dan mengingatkan menterinya pada Maret 2025 lalu setelah banyak masalah komunikasi terjadi, serta dilanjutkan dalam acara Sareasehan Pengusaha pada April 2025. Paradoksnya, kekurangan dalam upaya manajemen krisisnya justru menunjukkan bagaimana krisis tersebut terjadi.
Komunikasi Krisis Oknum Menteri
Akan tetapi, pernyataan tentang penghapusan kuota impor yang tidak komprehensif oleh Prabowo, justru dapat dilihat sebagai krisis yang terkelola dengan cukup karena adanya respons cepat dari beberapa menteri.
Melansir dari www.cnbcindonesia.com pada 9 April 2025, pasca sarasehan selesai Budi Santoso menjelaskan bahwa kebijakan penghapusan kuota impor akan dibahas secara mendalam oleh pemerintah. Namun, ia belum dapat memastikan kapan selesainya, dan menekankan penerapan kebijakan ini perlu diarahkan lebih lanjut.
Di samping itu secara terpisah Wakil Menteri Pertanian Sudaryono juga menanggapi, penghapusan kuota impor bukan berarti membuka impor secara bebas tanpa kontrol. Menurutnya, kebijakan ini akan diterapkan secara selektif dan bertahap, dengan mempertimbangkan kondisi produksi dalam negeri dan ketahanan pangan nasional (republika.co.id, pada 10 April 2025).
Sayangnya, respons cepat yang dicoba oleh para menteri tidak diikuti gayung bersambut dengan pesan berkelanjutan. Sampai saat ini, tidak ada kepastian mengenai kebijakan tersebut dan video viral Prabowo Subianto dibiarkan menjadi bahan kegelisahan bagi para pengusaha.
Manajemen krisis yang presiden lakukan kurang perencanaan strategi dan antisipasi agar pesan yang disampaikan benar-benar efektif. Presiden juga mengabaikan salah satu poin dalam pemeliharaan reputasi yaitu kejelasan (clarity) tentang krisis yang terjadi pada impor dan korelasinya dengan kebijakan barunya.
Padahal, ada elemen pemerintahan yang semestinya turut memberikan kejelasan. Di antaranya Kantor Komunikasi Kepresidenan, Kementerian Komunikasi dan Digital, atau Sekretariat Kabinet. Lembaga-lembaga tersebut punya kapasitas menjadi tim komunikasi krisis yang berupaya memperbaiki reputasi pemerintah.
Kekhawatiran dan Pemulihan Reputasi
Seiring waktu, pesan ketidakpastian yang telanjur sampai pada persepsi masyarakat itu terus berkembang bertransformasi menjadi asumsi liar serta kekhawatiran yang terus meningkat.
Ketua Umum Asosiasi Fastener Indonesia (AFI), Rahman Tamin mengkhawatirkan, penghapusan kuota impor dapat membuka peluang masuknya produk impor dengan harga dumping yaitu harga produk impor lebih murah dari harga barang domestik (antaranews.com pada 28 April 2025).
Rahman melanjutkan, harga dumping berisiko menurunkan pergerakan kapasitas industri lokal, mengancam kelangsungan investasi, dan bisa menyebabkan pemutusan hubungan kerja. Ia juga menyebutkan dampak pada UMKM yang mungkin akan menghadapi persaingan yang lebih ketat, terutama yang memproduksi barang sejenis dengan produk impor.
Kekhawatiran tersebut merupakan salah satu bukti penurunan reputasi. Persepsi negatif atas pesan tersebut tidak dapat pudar dan hilang begitu saja di kepala masyarakat, tanpa ada pembuktian yang dampak positifnya bisa dirasakan nyata.
Demi pemulihan reputasi, pemerintah diharapkan dapat secara konsisten dan bertahap menyampaikan capaian prosesnya. Hal tersebut juga menjadi upaya dalam mengelola krisis komunikasi yang menjerat pemerintahan Prabowo Subianto.
Saat ini, di balik diamnya pemerintah dengan segala kekuatan sumber daya manusia di bidang kehumasan dan komunikasinya, perlu ada kewaspadaan jika nanti kebijakan yang diresmikan justru memang seperti yang dikhawatirkan. Kita dapat belajar dari beberapa pengalaman sebelumnya.










