PADANG, HARIANHALUAN.ID- Kasus Bapenda Sumbar Jilid Dua yang diduga melibatkan Kepala Bapenda Syefdinon, bergulir. Sejak triwulan I tahun 2024 Kepala Bapenda Sumbar diduga menginstruksikan pungutan dana dari para pejabat eselon III dan eselon IV dengan dalih “pengumpulan gaji PHL non-APBD”, tanpa dasar hukum maupun transparansi penggunaan.
Setoran dilakukan per triwulan, dengan tarif Rp. 7.5000.000/orang untuk eselon III dan Rp. 5.000.000/orang untuk eselon IV. Menjelang Triwulan IV, tarif pungutan meningkat secara sepihak menjadi Rp. 12.500.000/orang (eselon III) dan Rp. 7.500.000/orang (eselon IV).
Menurut pelapor dalam kasus ini, penarikan dilakukan dengan dibantu oleh tiga pejabat perantara yang merupakan kaki tangan Kepala Bapenda diantaranya berinisial BV, Z dan RP.
Sebagian dana disalurkan untuk pembayaran PHL Non-APBD, namun sebagian besar lainnya (lebih dari 1,5 miliar) diduga disimpan dan didistribusikan ke oknum atas nama pribadi, bahkan digunakan untuk “setoran jabatan” kepada pihak luar, termasuk ke oknum yang disebut
sebagai pimpinan (klaim dari Kepala Bapenda).
Dari data yang diperoleh Haluan, ada sebanyak 178 pejabat struktural eselon III dan IV, mulai dari kantor pusat sampai ke UPTD Samsat kabupaten dan kota se-Sumatera Barat yang dimintai setoran bervariasi dari Rp5.000.000.- sampai Rp7.500.000.- dan Rp12.500.000.- Totalnya, mencapai Rp2,3 miliar.
Dan pada momentum lebaran 2024 yang lalu, pejabat eselon III dan IV dipaksa kembali menyetor dana Rp.10.000.000 per UPTD, atas perintah Kepala Bapenda, melalui kaki tangan yang sama. Waktu ini, sejumlah Kepala UPTD Samsat ada yang menolak membayar. Hanya 11 UPTD yang patuh dan menyetor. Karena ada yang menolak dan ribut, pungutan dan upeti paksa itu, akhirnya dikembalikan kepada UPTD yang sudah terlanjur menyetor.
“Pungutan itu tidak punya dasar hukum alias pungutan liar. Makanya, sebagian memang untuk bayar PHL, tapi sisanya yang justru jumlahnya lebih banyak, masuk ke kantong-kantong orang tertentu,” kata sumber.
Selain pungutan dengan alasan pembayar gaji PHL, Kepala Bapenda juga diduga menarik pungutan untuk kepentingan pribadi dari dealer kendaraan yang ada di Kota Padang, masing-masing Rp. 100.000/berkas kendaraan roda 4 dan Rp. 50.000/berkas kendaraan roda 2, yang dikumpulkan oleh oknum di Samsat Padang setiap bulan, dengan total kurang lebih Rp.250 Juta/bulan. Dugaan pungutan ini, termasuk yang dilaporkan ke Kajati Sumbar.
Penarikan dilakukan oleh pejabat perantara yang merupakan kaki tangan Kepala Bapenda diantaranya berinisial BV, Z dan RP.
Sebagian dana disalurkan untuk pembayaran PHL Non-APBD, namun sebagian besar lainnya (lebih dari 1,5 miliar) diduga disimpan dan didistribusikan ke oknum atas nama pribadi, bahkan digunakan untuk “setoran jabatan” kepada pihak luar, termasuk ke oknum yang disebut
sebagai pimpinan (klaim dari Kepala Bapenda).
Dari data yang diperoleh Haluan, ada sebanyak 178 pejabat struktural eselon III dan IV, mulai dari kantor pusat sampai ke UPTD Samsat kabupaten dan kota se-Sumatera Barat yang dimintai setoran bervariasi dari Rp5.000.000.- sampai Rp7.500.000.- dan Rp12.500.000.- Totalnya, mencapai Rp2,3 miliar.
Dan pada momentum lebaran 2024 yang lalu, pejabat eselon III dan IV dipaksa kembali menyetor dana Rp.10.000.000 per UPTD, atas perintah Kepala Bapenda, melalui kaki tangan yang sama. Waktu ini, sejumlah Kepala UPTD Samsat ada yang menolak membayar. Hanya 11 UPTD yang patuh dan menyetor. Karena ada yang menolak dan ribut, pungutan dan upeti paksa itu, akhirnya dikembalikan kepada UPTD yang sudah terlanjur menyetor.
“Pungutan itu tidak punya dasar hukum alias pungutan liar. Makanya, sebagian memang untuk bayar PHL, tapi sisanya yang justru jumlahnya lebih banyak, masuk ke kantong-kantong orang tertentu,” kata sumber.
Selain pungutan dengan alasan pembayar gaji PHL, Kepala Bapenda juga diduga menarik pungutan untuk kepentingan pribadi dari dealer kendaraan yang ada di Kota Padang, masing-masing Rp. 100.000/berkas kendaraan roda 4 dan Rp. 50.000/berkas kendaraan roda 2, yang dikumpulkan oleh oknum di Samsat Padang setiap bulan, dengan total kurang lebih Rp.250 Juta/bulan. Dugaan pungutan ini, termasuk yang dilaporkan ke Kajati Sumbar.
Kepala Bapenda Sumbar Syefdinon yang dikonfirmasi Haluan terkait adanya pungli ini, membantah laporan yang disampaikan oleh orang yang mengatasnamakan pejabat struktural eselon III dan IV di lingkungan Bapenda Sumbar itu.
“Tidak benar. Itu surat kaleng, tidak ada nama pengirimnya,” kata Syefdinon.
Menjawab Haluan atas sejumlah poin yang dilaporkan, Syefdinon menyatakan, pengumpulan gaji PHL non APBD itu sebenarnya adalah langkah yang ‘terpaksa’ diambil Bapenda untuk mencapai target penerimaan pajak yang terus meningkat serta kondisi keterbatasan kemampuan keuangan daerah.
“Target penerimaan pajak daerah terus meningkat setiap tahun. Kami selalu diminta dan didesak melakukan optimalisasi sumber pendapatan. Inilah alasan kenapa kami harus mempekerjakan PHL untuk melaksanakan program pajak door to door ke rumah-rumah wajib pajak yang menunggak,” ujarnya.
Syefdinon menjelaskan, personel Bapenda Sumbar maupun jajaran UPTD Samsat di seluruh kabupaten kota, jumlahnya sangat terbatas. Mereka sudah pasti tidak akan sanggup mendatangi satu persatu wajib pajak (WP) penunggak pajak kendaraan dan sebagainya ke rumah masing-masing.
“Persoalannya, APBD Sumbar maupun APBD kabupaten/kota juga tidak mampu meng-cover beban gaji para THL. Sementara target penerimaan daerah terus meningkat. Kami terus diwanti-wanti kepala daerah maupun DPRD agar jangan sampai terjadi defisit anggaran,” jelasnya.
Untuk mengakali keterbatasan personel serta ketidakmampuan APBD Sumbar maupun Kabupaten Kota membiayai gaji para THL ini, Syefdinon mengakui bahwa pimpinan Bapenda Sumbar dan UPTD Samsat jajaran sebelum dirinya pernah bersepakat mengeluarkan iuran sukarela untuk membayarkan gaji para THL dari kantong masing-masing.
“Jadi ini bukanlah pungli yang tak bisa dipertanggungjawabkan. Satu lagi kenyataannya, saya dilantik Gubernur sebagai Kepala Bapenda Sumbar pada tanggal 7 Januari 2024 lalu, sebelum saya menjabat pun, praktek ini telah berlangsung. Di era pimpinan lama bahkan tidak pernah ada masalah terkait iuran sukarela ini,” kata Syefdinon. (*)














