Kondisi seperti ini menciptakan ruang ketidakpercayaan dan kekecewaan yang dalam bawahan merasa tidak dipimpin, melainkan ditinggalkan. Ketika kepemimpinan hanya hadir secara administratif, tanpa keteladanan dan kompetensi fungsional, maka semangat kolektif pun terkikis. Dan ketika hal ini terus berulang, respons yang muncul bukan kemarahan, melainkan penarikan diri secara perlahan: hadir, bekerja seperlunya, tapi tidak lagi terlibat secara emosional. Inilah salah satu bentuk quiet quitting yang paling diam, namun dampaknya terasa luas.
Sejumlah penulis juga menggarisbawahi pentingnya memahami pergeseran nilai antar generasi. Generasi Milenial dan Gen Z, yang kini mulai mendominasi dunia kerja, membawa perspektif yang lebih kritis terhadap budaya “hidup untuk kerja.” Mereka lebih menghargai fleksibilitas, keseimbangan antara kehidupan kerja dan pribadi (work-life balance), serta kebermaknaan dalam pekerjaan bukan hanya jabatan atau penghasilan semata (Ng et al., 2010; Deloitte, 2023). Ketika nilai-nilai ini tidak diperhatikan oleh organisasi, sementara tuntutan dan tekanan kerja terus meningkat, maka quiet quitting menjadi bentuk perlawanan halus, namun konsisten. Bukan karena tidak mampu, tetapi karena mereka menolak untuk mengorbankan kesejahteraan mental demi sistem kerja yang tidak adil (Robinson, 2022; Harvard Business Review, 2022).
Tak sedikit pula yang melihat fenomena ini dari sudut ketimpangan budaya kerja. Dalam berbagai laporan dan kajian, quiet quitting muncul sebagai respons terhadap ekspektasi organisasi yang tinggi namun tidak dibarengi dengan penghargaan yang setimpal (Leiter & Maslach, 2009; Pfeffer, 2018). Dalam banyak kasus, karyawan diminta menyelesaikan tanggung jawab lintas fungsi, bekerja melebihi jam kerja tanpa kompensasi, atau menanggung beban struktural organisasi, misalnya, ketika kekurangan staf di satu divisi membuat staf lain harus merangkap tugas yang bukan tanggung jawab utamanya.
Namun, pengakuan atas kerja keras ini kerap minim: tidak ada tambahan insentif, tidak ada pujian, bahkan tidak jarang kontribusi tersebut dianggap wajar. Ketika hal ini terjadi secara terus-menerus, karyawan pun mulai menarik batas: “Saya hanya akan bekerja sesuai kontrak. Tidak lebih.” Ini bukan bentuk sabotase, melainkan mekanisme perlindungan diri terhadap ekspektasi yang dianggap tidak realistis (Klotz & Bolino, 2023). Alih-alih terus memaksakan diri, karyawan memilih untuk menjaga energi dan kesehatan mental dengan cara mengurangi keterlibatan emosional dalam pekerjaan.
Apa yang Perlu Dilakukan Pemimpin?
Quiet quitting seharusnya tidak hanya dipandang sebagai masalah “kurangnya semangat kerja” di tingkat individu. Ia adalah sinyal kadang samar, kadang jelas bahwa ada yang keliru dalam sistem dan cara memimpin. Karena itu, mencegah meluasnya fenomena ini bukan dimulai dari menuntut loyalitas karyawan, melainkan dari melihat ke dalam dan memperbaiki pola kepemimpinan yang ada.
Berikut beberapa hal yang penting dilakukan oleh para pemimpin di semua level: Bangun Kepemimpinan Berdasarkan Kompetensi, Bukan Kedekatan. Organisasi perlu memastikan bahwa pemimpin dipilih berdasarkan kapasitas, integritas, dan pengalaman yang relevan bukan karena afiliasi, loyalitas sempit, atau pertimbangan politis. Pemimpin yang kompeten tidak hanya tahu apa yang harus dilakukan, tetapi juga mampu memberikan arah, membimbing, dan mengambil tanggung jawab strategis.
Pahami Peran Bukan Sekadar Jabatan. Menjadi pemimpin bukan berarti bisa menyerahkan semua keputusan ke bawahan. Justru, pemimpin yang efektif hadir sebagai pengarah, bukan pelimpah beban. Jika ada hal yang belum dikuasai, penting untuk belajar dan membangun kapasitas, bukan menyamarkan ketidaktahuan dengan perintah atau pengalihan tanggung jawab.
Bangun Dialog dan Dengar Suara Bawahan. Karyawan yang disengaged sering kali adalah mereka yang merasa tidak didengar dan tidak dianggap. Pemimpin perlu membangun ruang komunikasi dua arah, di mana keluhan bukan dianggap ancaman, tapi masukan. Mendengarkan bukan berarti lemah, tetapi tanda bahwa pemimpin punya kepercayaan diri untuk bertumbuh bersama timnya.










