Laporan : Nurfatimah Putri
Menjadi guru besar sering dipandang sebagai pencapaian puncak dalam dunia akademik. Namun bagi Prof. Dr. Elfia, M.Ag., puncak itu bukanlah garis akhir. Justru dari sanalah sebuah pintu baru terbuka, pintu untuk terus belajar, memperdalam ilmu, dan tetap rendah hati di hadapan pengetahuan yang tak pernah ada habisnya.
Usia muda tak menjadi penghalang bagi Elfia untuk menembus puncak pencapaian akademik sebagai guru besar. Dosen Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang ini resmi menyandang gelar guru besar pada 25 Maret 2023. Ia dikenal sebagai salah satu guru besar termuda di fakultasnya.
Elfia yang lahir di Baso, 17 Maret 1979, menapaki dunia akademik sejak 2002 sebagai asisten dosen untuk mata kuliah Fiqih Mawaris. Ia mendampingi dua tokoh penting dalam bidang ilmu waris, Prof. Amir Syarifuddin dan Dr. Surwati. Tiga tahun kemudian, ia diangkat menjadi dosen tetap dan sejak itu tidak pernah berpaling dari bidang keilmuannya.
“Saya sudah dikader sejak tahun 2002 sebagai asisten dosen yang mengampu mata kuliah Fiqih Mawaris. Kemudian tahun 2005 saya diangkat jadi dosen PNS, tapi tetap melanjutkan mengajar mata kuliah tersebut,” kata Elfia kepadai Haluan.
Perjalanan karirnya tidak selalu berada di ruang kelas utama. Ia juga mengajar selama 10 tahun di sebuah kampus di Batusangkar sebagai dosen diperbantukan. Dedikasinya pada keilmuan menjadikannya lektor kepala dengan angka kredit atau kum sebanyak 700 dimana angka tersebut menjadi syarat penting untuk menapaki jenjang guru besar.
Ia mulai serius menapaki jalur guru besar sejak 2022. Padahal, tulisan dan risetnya sudah mulai ia cicil sejak 2016, meskipun kala itu masih berupa artikel nasional.
“Saya mulai merintis karena untuk jadi guru besar harus punya minimal satu artikel di jurnal Scopus. Maka saya rintis dari tahun 2022 sampai 2024,” ujarnya.
Hasil tak menghianati usaha. Dalam dua tahun terakhir, Elfia berhasil menerbitkan delapan artikel di jurnal internasional bereputasi, lima di antaranya sebagai penulis utama. Angka tersebut jauh melampaui syarat minimal yang ditetapkan.
“Tahun 2022 dan 2023 saya juga ikut konferensi internasional. Salah satunya diadakan Universitas Islam Indonesia (UII) bersama Asosiasi Dosen Hukum Keluarga di Yogyakarta, dan tahun 2023 saya juga jadi keynote speaker di Pascasarjana UIN IB Padang,” ujarnya.
Selama rentang waktu 2013 hingga 2025, lebih dari 50 artikel telah ia hasilkan, mayoritas membahas persoalan waris. Elfia konsisten menjaga kelinieran bidang keilmuannya sejak awal hingga mencapai gelar tertinggi di dunia akademik.
“Supaya tetap linear, saya tidak beralih dari tema waris. Saya tulis dari berbagai sisi, tapi tetap dalam konteks yang sama,” kata Elfia.
Bagi Elfia, ilmu waris bukan hanya tentang hukum distribusi harta, tapi juga menyangkut nilai moral dan keadilan.
“Ilmu mawaris itu membentengi kita untuk tidak mengambil hak orang lain. Kalau dipraktikkan dengan benar, takkan ada lagi konflik keluarga soal warisan,” tuturnya.
Ia mengutip sabda Nabi Muhammad SAW, yang menyebut bahwa ilmu dunia terbagi dua, ilmu tentang orang yang masih hidup dan ilmu tentang orang yang sudah tiada.
“Dari hadis itu, saya belajar bahwa ilmu waris adalah separuh dari ilmu dunia. Dan saya merasa terpanggil untuk menekuninya lebih dalam. ,” ucapnya.
Ketertarikannya pada ilmu mawaris muncul dari sosok gurunya, Prof. Amir Syarifuddin, yang menurutnya punya cara berpikir runtut dan penjelasan yang sangat detail. Gaya penyampaian itulah yang ia jadikan inspirasi hingga kini.
“Saya sangat terinspirasi dari beliau. Cara berpikirnya, penyampaiannya logis, dan ia bisa menjelaskan persoalan waris yang rumit menjadi sederhana dan mudah dipahami. Itu sangat membekas bagi saya,” katanya.
Pondasi karakter Elfia sudah mulai terbentuk sejak kecil. Ia akrab dengan Al-Qur’an dan aktif dalam MTQ saat masih sekolah dasar. Saat bersekolah di Pondok Pesantren Thawalib Parabek, ia mendalami Kitab Kuning dan memperkuat pemahaman agama. Namun fokus pada ilmu waris baru muncul saat duduk di bangku kuliah dan berlanjut hingga kini.
Ia tidak menampik bahwa peran orang tua dan guru-gurunya sangat besar dalam membentuk kepribadiannya. Namun, ia menegaskan bahwa dorongan paling kuat justru berasal dari dalam dirinya sendiri.
“Saya diberi kebebasan oleh orang tua, asalkan tetap berada di jalur agama. Dan dari situ saya belajar bahwa tanggung jawab untuk terus belajar dan berkembang ada di tangan saya sendiri,” ujar Elfia.
Bagi Elfia, tantangan tidak menjadi hambatan jika dijalani dengan tekun, percaya diri, dan mau terus belajar. Ia juga tidak sungkan bertanya dan belajar dari para senior.
Sebagai akademisi, ia berharap generasi muda semakin giat menggali potensi diri. “Mahasiswa sekarang harus lebih melek, terus belajar dan gali ilmu setinggi mungkin. Karena semakin kita tahu, semakin kita merasa butuh ilmu,” tuturnya.
Di tengah perkembangan teknologi, ia juga mengingatkan pentingnya kecerdasan dalam memanfaatkannya. “Kalau teknologi tidak digunakan dengan cerdas, maka justru akan mematikan skill dan bikin kita terlalu bergantung,” katanya. (*)














