“Dunia digital tak bisa dihadapi hanya dengan pendekatan hukum. Ada batas-batas yang hanya bisa dijangkau melalui kesadaran bersama,” ujarnya.
Triana juga mengingatkan bahwa kecepatan penyebaran informasi di platform digital bisa memicu efek domino yang sulit dikendalikan, terutama jika kontennya mengandung hoaks, ujaran kebencian, atau nilai kekerasan.
“Kita tidak bisa menutup mata bahwa batas antara penyiaran konvensional dan digital kini semakin tipis, bahkan nyaris menghilang. Apa yang dulu hanya disiarkan lewat televisi, kini bisa diakses kapan saja melalui internet,” katanya.
Ia mengajak masyarakat untuk lebih kritis dalam memilih dan menyebarkan konten. Triana menilai, literasi digital menjadi senjata penting agar publik tidak mudah terjebak dalam pusaran konten negatif.
“Benteng utama pengawasan moral tetap ada di rumah, di tangan para orang tua. Dunia digital, bagaimanapun, memiliki dua sisi; ia membawa manfaat besar, tetapi juga risiko besar,” tegasnya.
Triana menambahkan, hanya dengan kesadaran kolektif, kolaborasi berbagai pihak, serta keberanian masyarakat untuk bersikap kritis, ruang digital Indonesia dapat dijaga agar tetap sehat dan aman untuk semua kalangan.
“Saya meyakini, hanya keberanian yang membuat kita tetap berdaya di era digital ini,” pungkasnya. (*)










