Dalam kondisi demikian, menurutnya, tokoh-tokoh adat dan masyarakat seharusnya menjadi penyejuk, bukan pemicu ketegangan.
“Kita butuh kolaborasi dan ketenangan, bukan isu yang memecah belah. Pemerintah daerah juga sudah berkoordinasi ke pusat soal Batang Anai, jembatan Kuliek, dan lain-lain. Semangat ini jangan dirusak,” ujarnya.
Wali Feri juga menegaskan bahwa kritik terhadap pemerintah sah dilakukan dalam negara demokrasi, namun harus disampaikan secara bijak dan proporsional. Ia mengingatkan bahwa kepala daerah adalah simbol pemerintahan yang patut dihormati, bukan diserang dengan ujaran kebencian.
“Kita sudah mulai kebablasan dalam mengkritik, menyarankan, bahkan dalam etika. Ini yang perlu kita jaga bersama. Jangan sampai budaya yang seharusnya mempersatukan justru dimanfaatkan untuk memecah,” tuturnya.
Sebagai solusi, ia mendorong adanya ruang dialog antara tokoh adat, tokoh masyarakat, dan pihak pemerintah agar polemik ini bisa diselesaikan secara damai melalui musyawarah mufakat.
“Harapan saya, nanti kita bisa duduk bersama. Diskusi terbuka dengan Datuak Rajo Sampono dan kawan-kawan bisa membantu meluruskan niat dan pikiran. Ini soal kehormatan daerah kita juga,” katanya.
Menutup pernyataannya, Wali Feri menyampaikan dua pesan penting: kepada masyarakat Nagari Katapiang agar tidak mudah terprovokasi dan tetap fokus membangun nagari; serta kepada pemerintah daerah agar terus mengedepankan pendekatan persuasif dalam pembangunan.














