Oleh: Osmet
Dangau Inspirasi Riset dan Pengembangan Pedesaan
Beberapa hari yang lalu, tulisan kakanda Agusli Taher muncul di harian ini dengan judul Membedah Sawah Pokok Murah (SPM). SPM, suatu metode baru budidaya padi sawah, memang sedang menarik perhatian banyak pihak di level provinsi Sumatera Barat maupun di level nasional.
Bahkan, rombongan Ketua Komisi IV (bidang Pertanian) DPR datang sendiri untuk menyaksikan panen SPM di Kabupaten Agam. Puas dengan apa yang disaksikannya, dalam sidang komisi bersama Menteri Pertanian, Ketua Komisi IV DPR sampai menganjurkan Mentan untuk mengembangkan SPM; dan disambut baik Mentan.
SPM menarik perhatian karena sudah mulai diterapkan banyak petani dengan hasil yang baik walaupun sebagai metode bersawah SPM masih terasa kontroversial dan melawan intuisi.
Nama SPM saja sudah menyentakkan orang. Siapa yang tidak mau bersawah dengan pokok murah? Sejak awal Revolusi Hijau dulu orang sudah diajarkan bahwa untuk meningkatkan produktivitas padi sawah maka tidak terhindarkan harus menggunakan teknologi biokemis (bibit unggul, pupuk, dan obat-obatan) yang mahal bagi kebanyakan petani.
Artinya, teknologi Revolusi Hijau itu SPM juga tetapi dengan makna Sawah Pokok Mahal. Bagaimana mungkin ada SPM dengan makna Sawah Pokok Murah dan dengan produktivitas yang tinggi pula?
Oleh sebab itu, tidak mengherankan kalau terasa benar skeptisisme dalam tulisan kakanda Agusli Taher itu. Tetapi skeptisisme itu sehat dan bagian penting berpikir kritis untuk kemaslahatan bersama.
Dua butir penting skeptisisme kakanda Agusli Taher, dalam bacaan saya, adalah: apa iya SPM berbiaya murah dan apa iya produktivitas SPM lebih tinggi? Ini justru dua butir utama keunggulan SPM yang dikedepankan penggagasnya, selain lebih ramah lingkungan dan mudah diterapkan petani.










