MENTAWAI, HARIANHALUAN.ID—Ombak pagi menyambut tenang ketika matahari mulai menebar cahaya keemasan di Dermaga Muaro Padang, Selasa (1/7). Angin laut yang lembut menggoyangkan tali-tali kapal, mengantarkan aroma asin khas pelabuhan. Suasana terasa khidmat—titik awal perjalanan penuh makna.
Di sanalah rombongan UPZ Baznas Semen Padang berdiri. Lembaga pengumpul zakat karyawan PT Semen Padang ini bersiap memulai Safari Dakwah ke pedalaman Mentawai. Dipimpin oleh Ustadz Mafril, mereka naik kapal cepat MV Mentawai Fast, menempuh misi yang tak hanya melintasi geografis, tapi juga menyentuh sisi nurani.
Kapal bergerak pukul 07.00 WIB, menuju Dermaga Pokai, Kecamatan Siberut Utara. Tiga setengah jam kemudian, rombongan tiba. Namun perjalanan belum usai. Mereka harus melanjutkan dengan kapal boat kecil bermesin 15 PK—satu-satunya moda penghubung ke dusun-dusun terpencil. Tanpa pelampung, dengan lebar hanya satu meter dan panjang tujuh meter, rombongan melanjutkan perjalanan ke Dusun Bose, menantang gelombang yang tak selalu tenang.
Dusun Bose: Di Antara Sunyi dan Asa
Terletak di Desa Muara Sikabaluan, Dusun Bose tak biasa dikunjungi pelancong. Dihuni oleh 75 kepala keluarga, sekitar 50 KK di antaranya beragama Islam. Namun meski menjadi mayoritas, sarana ibadah dan pendidikan keagamaan masih sangat terbatas. Tak ada masjid megah, tak ada madrasah, bahkan kegiatan keagamaan kerap terputus oleh jarak dan akses.
Dalam keterbatasan itulah UPZ Baznas Semen Padang hadir sebagai penghubung antara pusat dan pinggiran, antara yang mudah dijangkau dan yang nyaris terlupakan.
“Kalau kami menyebutnya Dakwah di Teras Negeri,” kata Ustadz Mafril. “Karena Mentawai ini adalah teras NKRI di barat Indonesia, langsung berbatasan dengan Samudra Hindia.”
Istilah itu bukan hanya simbolik. Kepulauan Mentawai memang berada di garis depan negeri—sering kali juga menjadi batas perhatian. Tapi di sanalah, hidup berjalan dalam keterbatasan, dan agama hadir sebagai pegangan yang memberi arah dan harapan.














