PARIAMAN, HARIANHALUAN.ID – Berawal dari media sosial, Afrizal AR (51) berhasil menyulap tumpukan sabut kelapa menjadi produk bernilai tambah yang tidak hanya menghasilkan cuan, tetapi juga membuka lapangan kerja bagi masyarakat sekitar.
Lebih dari tiga tahun lamanya, pria bestatus ASN ini membuka pabrik pengolahan sabut kelapa yang terletak di Desa Pauh Timur, Kecamatan Pariaman Tengah, Kota Pariaman. Meski terhitung usaha skala kecil, pabrik miliknya sudah memasarkan produk ke beberapa daerah sampai ke luar provinsi.
Afrizal menuturkan, pencapaiannya saat ini terinspirasi dari unggahan-unggahan video edukasi di platform daring yang mengatakan bahwa sampah organik seperti sabut kelapa juga punya manfaat. Dengan persiapannya, ia memulai usaha tersebut dari bawah dengan modal yang tidak sedikit.
“Sabut kelapa yang semulanya dianggap sampah, ternyata ketika diolah bisa menjadi ekonomis dan dapat dijadikan peluang usaha. Ini yang membuat saya termotivasi dan membuka pabrik sabut kelapa sejak tahun 2021 lalu,” tutur Afrizal.
Dalam sehari, pabrik kecil miliknya bisa memproduksi 40-50 karung olahan cocofiber dan cocopeat dengan harga jual mencapai Rp30.000-Rp35.000 per karungnya. Pabrik beroperasi setiap hari dengan pemasaran ke Kota Padang, Payakumbuh, Padang Panjang, hingga Pekanbaru.
Selama menjalankan usahanya, Afrizal dibantu dua pekerja yang dia rekrut dari pemuda sekitar. Mereka bekerja dari pagi sampai sore hari dengan upah berdasarkan jumlah karung yang dihasilkan.
Afrizal menuturkan, tidak mudah mengelola pabrik kecil di tengah perkembangan usaha sabut yang sudah besar di daerahnya. Kendati begitu, ia tidak patah semangat dengan terus berupaya mencari pasar dan terus memaksimalkan pelayanan terhadap para pelanggan.
“Hasil olahan, kita jual ke pengepul yang menjemput ke pabrik. Seiring waktu, kita cari tahu ternyata bisa diekspor. Kita juga jual ke tempat pembibitan lolak seperti Padang, Payakumbuh, Padang Panjang, dan Pekanbaru,” paparnya.
Sementara untuk sabut kelapa, Afrizal mulai dengan metode jemput bola dengan membeli langsung ke masyarakat yang memiliki ladang kelapa. Seiring waktu dan berjalannya usaha, ia mulai membentuk kerja sama dengan pedagang kelapa yang bersedia mengantar sabut ke pabrik.
“Sabut kelapa sendiri biasa kita beli Rp15.000-Rp17.00 ribu per kubik, dengan satu kubiknya bisa memproduksi sampai tiga karung hasil olahan cocofiber dan cocopeat,” kata dia.
Kendati begitu, sebagai pabrik UMKM, ia mengaku kesulitan mengembangkan usaha pengolahan sabutnya. Sebab, untuk memperbanyak hasil produksi, pabriknya membutuhkan mesin yang lebih besar dan lebih lengkap yang bisa diperoleh dengan biaya yang tidak sedikit.
Afrizal berharap, usahanya bisa terus bertahan dan berkembang, sehingga bisa mengumpulkan modal untuk memperbesar pabriknya. “Karena mesin yang kita punya skala rumah tangga, sehingga ada keterbatasan hasil produksi. Meski begitu, kita akan tetap berupaya memasarkan produk dan memafaatkan sumber daya yang ada agar bisa berkembang seperti pabrik-pabrik besar lainnya,” tuturnya. (*)














