“Saya mangkal tak menentu, melihat kondisi saja. Bahkan bisa malam pun saya jajalkan. Kalau malam dan tempatnya lapang, saya juga menyediakan tempat tongkrongan kecil-kecilan,” katanya.
Seorang penikmat kopi, Yosi (26), yang bekerja sebagai penjual parfum cukup sering membeli kopi di kopi keliling ini. Harga terjangkau dan praktis menjadi alasannya sering membeli kopi di kopi gerobak. Sudahlah harganya murah dibanding di kafe, kepraktisannya pun juga sangat membantu.
“Jadi di waktu istirahat pun kita tidak memakan waktu yang cukup lama untuk membeli kopi. Kalau di kafe kan antre panjang dan harus menunggu dulu. Lagipula, di kafe juga tanggung rasanya untuk sekadar membelinya saja. Biasanya di kafe itu bagusnya nongkrong langsung di sana daripada harus dibawa pulang.
“Kadang sebelum ada kopi gerobak ini, saya biasa beli minuman jus atau semacamnya. Tapi dilihat-lihat, kopi juga sangat berkhasiat apalagi di siang hari begini. Rasanya bisa menambah semangat saja kalau sedang bekerja seperti ini,” katanya.
Menjaga Tren dengan Inovasi
Pengamat Sosial Universitas Andalas, Prof. Dr. Damsar, MA, kepada Haluan mengatakan, tren kopi gerobak sama halnya dengan tren-tren lainnya, seperti tren batu akik, tren koleksi tanaman janda bolong, dan lain sebagainya. Ia menyebut ini sebagai gejala yang sama dengan tren, hobi, fesyen, dan lain-lain.
“Ini disebut refleksi terhadap kebutuhan masyarakat. Karena dianggap suatu kebutuhan, sehingga muncul kopi gerobak dengan berbagai kemudahan yang dihadirkan kepada masyarakat atau penikmatnya,” ujarnya.














