Damsar menjelaskan, tren kopi gerobak ini hadirnya sangat praktis, seolah kopi yang mendatangi penikmatnya, bukan penikmat yang harus mencari kopinya. Tekanan akan pekerjaan maupun pikiran, kemudahan kopi semacam barang penting yang mudah didapat, sehingga kopi keliling ini digandrungi masyarakat banyak di perkotaan dan bahkan juga di pusat kabupaten di Sumbar ini.
“Kopi gerobak ini menjadi tren karena berhasil masuk ke situasi yang dihadirkannya. Terlebih kita di Sumbar ini budaya mengopi di kampung-kampung cukup kuat pula, jadinya kehadiran kopi yang mendatangi orangnya ini bisa dikatakan dalam puncaknya sebagai suatu gaya hidup itu sendiri,” katanya.
Namun, kata Damsar, puncak tren kopi keliling secara situasional juga diartikan sebagai masanya untuk menuju akhir. Sebab, dalam puncaknya, kini yang memunculkan banyak kompetitor (kopi gerobak lain), justru tingkat kebosanan masyarakat akan mulai berdatangan. Terlebih kopi gerobak hadirnya sebagai tren yang mana pada titik tertentu akan bisa berhenti atau habis.
“Segala sesuatu yang ditawarkan meningkat, maka akan berkurang pula masanya. Begitulah jalannya sebuah tren. Meskipun hadirnya dari kebudayaan sekalipun, tren ini lambat-laun juga akan menyusut dari masa puncaknya sekarang ini,” ujarnya.
Hukum awal-akhir ini bukan seluruhnya pula akan bertumbangan. Tren ini akan tetap ada, walau tak seacap puncaknya yang sedang berlangsung. Damsar mencontohkan, hal itu sama halnya dengan tren batu akik di mana kehadirannya kini masih ada, tapi memang tidak se-booming dulunya lagi.
Pengamat sosial kelahiran Batu Bara, Sumatera Utara itu menjelaskan, keberadaan tren itu bergantung akan penawaran yang diberikan dari tren itu sendiri. Artinya, sebuah tren akan mampu bertahan ataupun tetap bertahan nantinya dikarenakan adanya inovasi atau terobosan baru yang dihadirkan.














