Teks foto: Marah Roesli merupakan sastrawan yang terkenal akan romannya yang berjudul Sitti Nurbaya. IST
PADANG, HARIANHALUAN.ID – Roman Sitti Nurbaya telah merantaukan Marah Roesli ke panggung sastra Indonesia. Berkat roman yang masih terngiang di telinga hingga kini, penulis H.B Jassin menjuluki Marah Roesli sebagai Bapak Roman Modern Indonesia. Dengan Siti Nurbaya-nya, siluet budaya Minangkabau bisa dikenal luas melalui karya sastranya.
Karena kejayaannya itu, Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) melalui UPTD Taman Budaya Sumbar (TBSB) kembali merayakan gelaran festival sastra yang mengangkat sosok Marah Roesli dengan nama Festival Sastra Marah Roesli.
Kasi Produk dan Kreasi Seni Budaya TBSB, Ade Efdira mengatakan Festival Sastra Marah Roesli berangkat dari sebuah kecenderungan di mana cerita Sitti Nurbaya lebih dikenal dibanding Marah Roesli selaku penulisnya sendiri.
“Kami meresponsnya dengan mengangkat sosok Marah Roesli melalui festival sastra yang kami gelar setiap tahun. Setiap tahunnya memang berubah dan tahun ini Marah Roesli menjadi pilihan dalam iven sastra ini,” katanya kepada Haluan, Rabu (16/7).
Selain itu, festival sastra yang mengatasnamakan Marah Roesli juga jarang terdengar. Nama-nama Chairil Anwar, AA Navis, dan beberapa sastrawan urang awak yang tersohor sudah cukup terjajakan namanya melalui iven-iven sastra dan budaya, bahkan di luar Sumbar.
“Kita punya banyak tokoh-tokoh sastra, tapi kami memilih Marah Roesli karena ketenarannya dengan Sitti Nurbaya. Dan ini memang kami harapkan bisa kontinu dari Taman Budaya untuk mendorongnya sebagai festival sastra tahunan yang memang menjadi skala nasional nantinya seperti festival sastra di Bali, Makassar, dan Jakarta,” ujarnya.
Pengusungan Festival Sastra Marah Roesli, jelas Ade, memang tak terikat dengan hari khusus sastra atau segala macamnya. Hanya saja, kegiatan ini sifatnya menyesuaikan dengan keadaan dan momen-momen yang cukup penting.
“Festival Sastra Marah Roesli ini memang festival sastranya. Tapi di sisi lain, festival ini juga sebagai penguat dengan iven lainnya, seperti adanya Festival Siti Nurbaya yang telah berlalu, yang memfokuskan pelaksanaannya pada sektor kepariwisataan. Sehingga kehadiran festival ini ingin menguatkan momen-momen itu. Di puncaknya pada Oktober nanti itu juga bertepatan dengan HUT Provinsi Sumatera Barat. Kemudian kaitannya kami selaraskan dengan Bulan Bahasa dan Sastra,” jelasnya.
Negeri (dan) Ironi
Festival Sastra Marah Roesli mengawali tahapan kegiatannya dengan lomba menulis cerpen. Negeri (dan) Ironi menjadi tema yang diusungnya. Ade Efdira mengatakan, tema ini bisa dikatakan sebagai strategi intelektual. Negeri (dan) Ironi berangkat dari karya sastra Marah Roesli sendiri yang bisa terlihat paradoks dan bisa ditafsirkan dengan berbagai hal, seperti roman Sitti Nurbaya tersebut.
“Ini strategi intelektual agar penulis dapat menuliskan kacamatanya tentang yang terjadi di sekitarnya, di kampung, di kota, Indonesia secara umum, bahkan di lingkup global. Isu ini kita lambungkan mengingat fenomena-fenomena dan isu yang terjadi sekarang ini. Dan cerpen ini akan diterbitkan dan diskusikan nantinya,” katanya.
Dalam gelarannya, Festival Sastra Marah Roesli mengagendakan berbagai kegiatan sastra dan budaya mulai dari seminar, workshop, seni pertunjukan dan kegiatan lainnya. Kata Ade, secara format kegiatan bisa dikatakan sama dengan festival sastra nasional.
“Meski kita disulitkan pembiayaan, kita bertanggung jawab untuk memperhatikan budaya dan sastra ini sebaik mungkin. Kita dari kementerian dianggarkan sekitar Rp1,2 miliar untuk Taman Budaya. Itu yang kita akomodir dengan kegiatan lainnya. Tapi dalam keterbatasan itu kita tentu mencoba yang terbaik,” kata Kasi Produk dan Kreasi Seni Budaya TBSB tersebut. (*)














