Pasang Naik dan Pasang Surut
Dalam sejarahnya, interaksi atau hubungan (umat) Islam dengan pemerintah Tiongkok sangat dinamis, sering diwarnai pasang naik dan pasang surut seperti ombak di samudra yang luas. Pada masa-masa tertentu, seperti masa Dinasti Yuan (1271–1368) dan berlanjut pada masa Dinasti Ming (1368–1644), Islam cukup mempunyai peran dalam pemerintahan Tiongkok. Pada awal Dinasti Ming inilah Laksamana Cheng Ho yang kelahiran Kunming, Yunnan, melakukan tujuh kali ekspedisi besar ke Asia Tenggara, Asia Selatan, hingga ke pantai timur Afrika. Pada masa Dinasti Ming inilah banyak dibangun masjid di Yunnan seperti di Kunming, Dali, dan Lijiang. Masjid Shuncheng, terbesar di Kunming, dan Masjid Raya Shadian, terbesar di seluruh Tiongkok, dibangun pada masa Dinasti Ming.
Pada masa Dinasti Qing (1644–1912) Islam mengalami masa yang kompleks. Selama masa hampir tiga abad itu, ada masa toleransi, tetapi juga ada periode penindasan dan pemberontakan umat Islam. Qing adalah Dinasti Manchu, bukan etnis Han yang merupakan mayoritas. Pada awalnya mereka cukup terbuka terhadap umat Islam dan etnis non-Han lainnya. Sehingga, muslim Hui, Uighur, Kazakh, dan lainnya bisa menjalankan agama dan budaya mereka dengan leluasa. Banyak muslim Hui diangkat menjadi pejabat militer dan sipil karena keahlian mereka.
Dalam seabad terakhir kekuasaan Dinasti Qing, umat Islam kadang mengalami diskriminasi dan penindasan yang berakibat terjadinya perlawanan, protes bahkan pemberontakan. Paling diingat dalam sejarah adalah Pemberontakan Panthay (1856–1873) di Yunnan. Dipimpin oleh Du Wenxiu, seorang pemimpin muslim Hui. Pemberontakan ini menentang Dinasti Qing karena diskriminasi terhadap muslim. Du Wenxiu mendirikan pemerintahan Islam di Dali selama hampir dua dekade sebelum akhirnya ditumpas oleh pasukan Qing. Setelah kekalahan Wenxiu, banyak muslim Hui di Yunnan mengalami penindasan, sehingga sebagian bermigrasi ke Asia Tenggara, seperti Myanmar, Thailand, dan Malaysia.
Pada masa Republik Tiongkok (1912–1949), komunitas muslim mendapat lebih banyak kebebasan. Namun setelah berdirinya Republik Rakyat Tiongkok (1949), komunitas muslim di Yunnan sempat mengalami pengetatan praktik keagamaan, terutama saat Revolusi Kebudayaan (1966–1976). Puncaknya adalah Peristiwa Shadian (1975), sebuah tragedi berdarah dalam sejarah modern Tiongkok yang melibatkan umat Islam, khususnya etnis Hui, dengan pemerintah Tiongkok. Tragedi yang menimbulkan korban jiwa sekitar 1.600 suku Hui, terjadi karena pemerintah menutup masjid, melarang ibadah, serta membatasi aktivitas keagamaan umat Islam setempat. Umat muslim Hui di Shadian melakukan protes damai, meminta dibukanya kembali masjid dan dikembalikan hak-hak beragama mereka.
Akibatnya, selama Mei–Juli 1975 ketegangan meningkat. Diskusi antara warga dan aparat tidak menemui titik temu. Pada 29 Juli 1975, Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) Tiongkok mengepung dan menyerang Kota Shadian dengan senjata berat, termasuk meriam dan tank. Pertempuran tak seimbang berlangsung beberapa hari, dan dilaporkan sekitar 1.600 muslim Hui, termasuk perempuan dan anak-anak jadi korban. Ratusan rumah hancur, serta banyak masjid dibakar dan dirusak.
Sepeninggal Mao Zedong (1976), pemerintahan Deng Xiaoping meninjau ulang kebijakan terhadap Islam dan etnis minoritas. Tahun 1979 pemerintah secara resmi minta maaf kepada muslim Hui dan melakukan rehabilitasi politik dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban. Masjid Raya Shadian dibangun kembali dengan dukungan negara sebagai simbol rekonsiliasi.














