Muslim Hui dan Uighur
Sejak Reformasi Deng, kehidupan umat Islam di Tiongkok secara umum relatif lebih baik, khususnya di kalangan suku Hui di Yunnan, dan di beberapa provinsi penyebaran mereka seperti Xinjiang, Ningxia, Gansu, dan Qinghai. Umat Islam suku Hui kini juga banyak tinggal di kota besar Shanghai, Beijing, dan di provinsi paling maju seperti Guangzhou.
Namun yang sering disorot belakangan adalah perbedaan sikap dan perlakuan pemerintah Tiongkok terhadap suku Hui dan suku Uighur. Dari sekitar 25 juta umat Islam di Tiongkok dewasa ini, kebanyakan berasal dari suku Hui (10 juta) dan Uighur (12 juta). Ciri suku Hui, mereka hidup menyebar dan hampir tidak punya daerah eksklusif. Terbanyak mereka tinggal di Daerah Otonomi Ningxia (lk. 2 juta), Gansu (1,8 juta), Yunnan (1 juta), Qinghai (800 ribu), serta Henan, Hebei, Xinjiang, Shaanxi, lalu di Beijing dan Tianjin dalam jumlah yang lebih sedikit. Sementara, dari sekitar 12 juta suku Uighur, tinggal terkonsentrasi di Daerah Otonomi Uighur di Provinsi Xinjiang di mana mereka merupakan 45 persen populasi. Bahkan ada di beberapa kota Uighur mendominasi populasi lebih dari 80 persen seperti di Kashgar dan Hotan.
Selain faktor pembauran, juga ada faktor budaya dan bahasa yang berbeda. Hui lebih dekat dan membaur dengan budaya Tiongkok, berbicara dalam bahasa Mandarin, dan dianggap lebih loyal kepada pemerintah. Sedangkan Uighur berasal dari budaya yang lebih dekat dengan Turki dan Asia Tengah, bicara dengan bahasa mereka sendiri, dan dianggap oleh Pemerintah China mengandung bibit separatisme dan ekstremisme. Karena itu, pengawasan pemerintah terhadap Uighur sangat ketat, sedangkan untuk Hui lebih longgar dan banyak kebebasan.
Khusus mengenai Masjid Raya Shadian, masjid terbesar di Tiongkok, dan kehidupan Islam Hui di kota kecil itu, diulas dalam tulisan di Haluan edisi Jumat, 18 Juli besok. (*)














