Catatan : Hasril Chaniago
Kami sedang bersiap-siap menaiki bus sehabis makan siang yang nikmati sekali di Restoran Muslim Yuanfu, di Distrik Gucheng, Kota Lijiang. Tiba-tiba Ibu Vita Nova Gamawan, sambil tergopoh-gopoh setengah berteriak memperlihatkan layar handphone-nya. “Liek lah, saroman kan (Lihat lah, serupa, bukan)?” katanya sembari menunjuk objek yang baru saja dipotretnya. Yang dimaksud Bu Vita adalah hiasan di puncak barisan tiang pagar sebuah taman di seberang jalan dari Restoran Muslim Yuanfu. Bentuknya sangat mirip dengan miniatur atap rumah gadang bagonjong ampek (bergonjong empat).
Pemandangan serupa juga telah kami saksikan dua hari sebelumnya, ketika kami tiba di Kota Tua Lijiang pada malam hari Jumat tanggal 20 Juni 2025. Namun karena malam hari, kami hanya sempat memotret gerbang kembar kota tua yang sedang bermandikan cahaya itu. Kami tidak sempat mengecek ulang di waktu siang, karena keesokan paginya kami sudah langsung berangkat ke Danau Lugu di Distrik Ninglang untuk mengunjungi Suku Mosuo. Kali ini, setelah kembali dari Mosuo, tujuan perjalanan kami setelah makan siang adalah untuk mengunjungi kawasan Kota Tua Lijiang di siang hari. Kami ingin mengkonfirmasi lagi penglihatan kami mengenai objek yang mirip rumah gadang kecil (rangkiang) dua malam sebelumnya.
Tidak salah, ternyata bangunan kembar di gerbang Kota Tua Lijiang yang telah ditetapkan sebagai kawasan Warisan Dunia (World Heritage Mondial) oleh UNESCO itu, bentuknya memang serupa dengan rumah gadang mini. Bentuk bangunan bagian atas (atap) mirip benar dengan bagian atas rangkiang yang umum kita lihat di depan rumah gadang tradisional di Sumatera Barat.
“Jadi sebenarnya siapa yang meniru siapa?” tanya Buya Shofwan Karim setengah berkelakar dan separoh serius.
Walaupun sepintas lalu pernyataan tersebut tidak “ilmiah”, katakanlah begitu, tetapi pengalaman kami mengunjungi Suku Mosuo di Danau Lugu justru semakin menimbulkan tanya di kepala. “Iya ya, kok banyak sekali persamaan antara Minangkabau (Sumatera Barat) dengan Yunnan. Lebih-lebih dengan Suku Mosuo, satu-satunya etnis di Tiongkok yang hidup dalam sistem matrilineal.
Selain sama-sama menganut sistem matrilineal, Mosuo di Yunan dan Minangkabau di Indonesia juga memiliki sejumlah kesamaan. Misalnya dalam motif-motif hiasan atau ukiran pada bangunan atau pakaian. Ketika sedang makan siang di rumah keluarga Mosuo di komplek Hotel Mosuoyuan, kami sempat terbelalak melihat adanya ragam ukiran yang mirip Minangkabau. “Ini jelas mirip sekali dengan motif kaluak paku dalam motif ukiran Minang,” kata Bundo Raudha Thaib tanpa ragu.
Demikian pula ketika menyaksikan motif-motif pada pakaian tradisional orang Mosuo, terutama pakaian wanita, yang dipajang di lobi hotel Mosuo Garden itu. Baju-baju tersebut bisa dipakai untuk berfoto. Hal yang sama juga kami temukan di sebuah galeri tenun dan sulaman Mosuo di belakang hotel Mosuoyuan di tepian Danau Lugu. Motif-motif hiasan atau sulaman selendang yang dipajang dan dijual di sana sangat mirip dengan bunga-bunga sulaman selendang dari Koto Gadang di IV Koto, Agam.














