Tak kalah menariknya, saat memasuki sebuah Rumah Dabu atau rumah keluarga Mosuo di Museum Mosuo, kami menyaksikan pula sebuah kepala kerbau utuh lengkap dengan tanduknya dipajang di dinding depan dekat pintu masuk rumah itu. Padahal, kerbau bukanlah hewan yang lazim dalam kehidupan sehari-hari suku Mosuo. Kecuali ketika mereka masih hidup nomaden dan tinggal di pegunungan lebih setengah abad yang lalu.
“Ini perlu kita berfoto di bawah tanduk kerbau itu,” kata Bundo Raudha Thaib serta Ibu Vita Gamawan hampir serentak. Maka mejenglah ibu-ibu kita ini di bawah gambar tandu kerbau itu.
Setelah menyaksikan begitu banyak persamaan antara suku Mosuo dengan Minangkabau, Bundo Raudha pun menyimpulkan: “Kalaulah Islam tidak masuk ke Minangkabau, mungkin kehidupan masyarakat Minangkabau akan mirip dengan Suku Mosuo sekarang.” Ketua Umum Perkumpulan Bundo Kanduang ini melanjutkan, “Sebaliknya, kalau saja Islam masuk dan dianut oleh masyarakat Mosuo, mungkin mereka akan hidup seperti masyarakat kita di Minangkabau sekarang: matrilineal dan beragama Islam.” (Lebih lengkap mengenai Suku Mosuo dengan segala aspek kehidupan, sejarah, budaya dan perkembangannya, silakan baca di Harian Haluan edisi Minggu, 20 Juli 2025).
Perjalanan “Safari Yunnan” selama empat hari ini tentu terlalu singkat untuk memahami dan menyimpulkan kenapa ada persamaan-persamaan tersebut. Tetapi pengalaman nyata, melihat adanya kemiripan bentuk bangunan, sistem kehidupan matrilineal di suku Mosuo, serta kemiripan sejumlah produk kerajinan seperti ukiran dan ragam hias pakaian, mungkin membawa imajinasi kita kembali Teori Yunnan. Menurut teori ini, nenek moyang bangsa Indonesia, tentu juga Minangkabau, adalah berasal dari daerah Yunnan, Tiongkok bagian barat daya.
Dengan demikian, imajinasi tersebut membawa pula kepada pertanyaan, apakah mungkin ada hubungan antara suku matrilineal Mosuo dan masyarakat Minangkabau?
Selama ini banyak ahli meyakini, bahwa sistem matrilineal yang hidup di masyarakat Minangkabau berasal dari Kerala atau Tamil di India Selatan. Ini dikaitkan, misalnya, dengan Prasasti Banda Bapahek di dekat Batusangkar yang menggunakan dua bahasa: Sansekerta dan bahasa Tamil. Ini menunjukkan bahwa pada abad ke-14 sudah ada komunitas Tamil yang hidup di pusat Minangkabau. Kesimpulan ini didukung oleh adanya pengaruh bumbu-bumbu India dalam budaya kuliner Minangkabau serta terdapatnya banyak kosa kata Dravida (bahasa yang dipakai bangsa Tamil) pada kosa kata Minangkabau atau Malayu. Misalnya kata nagari, kota, bedil, kuli, gundu, atau nama-nama kue seperti apam, talam dan onde-onde juga berasal dari India Selatan.














