Sebenarnya pemasukan museum ini lumayan juga. Menurut Erqing, jumlah pengunjung setiap hari rata-rata 100 – 130 orang. Di akhir pekan biasanya lebih banyak. Kebanyakan pengunjung adalah turis lokal dari Lijiang dan daerah sekitar Yunnan. Hari Sabtu itu kami hanya bertemu seorang turis asing dari Prancis. Tarif masuk museum berkisar 20 – 30 yuan ((45 – 70 ribu) per orang, tergantung per orangan atau rombongan. Rombongan lebih murah. Namun tiket masuk saja tidak cukup untuk membiayai pemeliharaan koleksi, bayar listrik dan biaya pegawai. Jadi harus tetap disubsidi oleh pendirinya.
Selesai meninjau museum, dan istirahat sejenak di hotel, kami diundang lagi makan malam di rumah sebuah keluarga Mosuo terkemuka, kira-kira sekitar 1 kilometer dari hotel dan museum. Malam harinya, kami diundang lagi menghadiri pertunjukan kesenian (tari) tradisional Mosuo di gedung pertunjukan di dekat museum. Salah satu yang ditampilkan malam itu adalah Tari Api Unggun, tarian tradisional khas Mosuo. Pak Gamawan dan Ibu Vita sempat ikut menari bersama puluhan gadis dan pemuda Mosuo serta beberapa pengunjung yang kebanyakan adalah turis lokal.
Setelah seharian beraktivitas hingga malam, kami menikmati istirahat di kamar hotel yang sejuk alami. Bagun pagi, selepas subuh berjalan-jalan di pinggir Danau Lugu yang berair bersih dan berpemandangan indah. Baru pukul tujuh pagi, toko-toko yang terletak selang-seling dengan hotel dan rumah penginapan (home stay) di sepanjang pantai Danau Lugu mulai menggeliat dengan berbagai aktivitasnya. Termasuk toko souvenir yang menjual tenunan serta sulaman khas Musuo. Tokoh Souvenir itu bahkan mendemonstrasikan live cara bertenun bukan mesin (ATBM) di dalam tokonya. Menarik sekali.
Selesai sarapan, selepas pukul delapan pagi, kami pun bersiapkan-siap meninggal hotel untuk melanjutkan perjalanan kembali ke Lijiang. Rupanya masih ada acara penglepasan yang disiapkan oleh Aping bersama duo pemilik hotel, Erqing dan Duoji. Kepada masing-masing kami diberikan sebuah sal atau selendang wol hasil tenunan orang Mosuo. Ditambah lagi masing-masing tas jinjing untuk ibu-ibu dan tas selempang untuk bapak-bapak, juga hasil kerajinan orang Mosuo. Tas serba guna itu mengingatkan kita kepada noken, “tas serbaguna” orang Papua.
Walaupun kami berada di kampung Mosuo hanya sekitar 20 jam, tapi sangat mengesan dan sulit dilupakan. “Benar-benar seperti pulang ke kampung sendiri,” komentar Prof. Musliar Kasim.
“Yo, pulang kampung plus ka rumah bako,” kata Pak Gamawan. Begitulah, saking berkesannya kunjungan ke kampung halaman saudara dari suku matrilineal satu-satunya di Tiongkok itu. (h/Hasril Chaniago)














