Desa Luoshui di sisi selatan Danau Lugu adalah pusat kehidupan orang Musuo yang paling ramai dan paling banyak penduduknya. Dalam tiga dekade belakangan, desa berpenduduk sekitar 4.000 jiwa itu telah mengalami kemajuan yang pesat berkat keberhasilan mereka menyambut zaman kemajuan dari perkembangan industri pariwisata.
Luoshui adalah desa utama tempat kehidupan orang Mosuo. Dari sekitar 50.000 orang Mosuo di Provinsi Yunnan dan Sicuan, mayoritas tinggal di sekitar Danau Lugu. Selain Luoshui yang terbanyak, desa-desa tempat tinggal komunitas matrilineal satu-satunya di Tiongkok ini tersebar di desa-desa Lige, Dazui, Zhaojia, Wadu, serta dalam jumlah lebih sedikit di DesaZhashi, Zhongshi, Chenjiawan, Dapo, Zhudi, Zhebo, dan Wenquan di sisi Yunan Yunnan, serta Lijiazui di sisi Sichuan.
Desa-desa sekeliling Danau Lugu telah mengalami perubahan signifikan dalam tiga dekade belakangan. Luosuhi adalah contoh nyata transformasi kehidupan sosial sebuah suku atau komunitas tradisional agraris memasuki ekonomi modern yang disebut pariwisata. Suku Mosuo yang bermukim di sekeliling Danau Lugu sebelum dikenal sebagai masyarakat nomaden yang kemudian berubah menjadi masyarakat agraris yang mengandalkan mata pencarian dari bertani, beternak, serta menangkap ikan di danau seluas 50 km persegi yang menjadi pusat kehidupan mereka. Namun sejak awal 1990-an, didukung dengan pembangunan infrastruktur dari pemerintah Kabupaten Ninglang dan Provinsi Yunnan, Luoshui berkembang menjadi desa pariwisata yang maju. Puluhan hotel dan hometay, restoran dan toko sovenir menjajal desa itu di sepanjang jalan poros utamanya dan di tepi danau Lugu yang permai dan berair jernih.
Desa Luoshui yang terletak di ketinggian rata-rata 2.700 mdpl, berada di Kota Kecamatan Yongning, Kabupaten Ninglang, Prefektur Lijiang, Provinsi Yunnan. Desa seluas 56 km persegi ini terbagi atas dua bagian, Shangluoshui (Luoshui Atas) di sisi darat jalan, serta Xialuoshui (Luoshui Bawah) di tepi danau. Kedua bagiannya dipenuhi dengan rumah serta bangunan kayu tradisional khas Mosuo (tanpa paku). Bagian darat mengingatkan kita kepada kawasan Legian di Bali, dan satunya lagi berpemandangan langsung ke danau dengan hotel-hotel dan rumah penginapan yang berjejer rapi dan bersih. Dengan suhu rata-rata 9,3 derajat Celcius sepanjang tahun, desa ini beriklim sangat sejuk.
Dewasa ini Luoshui dihuni sekitar 4.000 penduduk, terdiri dari 12 kelompok etnis, dan orang Mosuo merupakan separuh populasi. Etnis lainnya adalah orang Pumi, Han, dan Yi. Sebelumnya Mosuo merupakan mayoritas (lebih 80 persen) penduduk Luoshui. Pada 1991 tercatat sekitar 430 penduduk, dengan 80 persen adalah Mosuo. Pada 2010 populasi meningkat menjadi sekitar 3.331 orang, namun jumlah orang Mosuo menurun menjadi sekitar 1.000 orang atau kurang sepertiga dari populasi. Kondisi lebih kurang sama berlaku sampai sekarang.
Walaupun di satu sisi pariwisata telah menurunkan persentase populasi Musuo di Luoshui dan umumnya di desa-desa wisata sekeliling Danau Lugu, namun di sisi lain berhasil meningkatkan kesejahteraan dan pendapatan mereka. Sebelum era pariwisata, pada 1992 pendapatan rata-rata penduduk Luoshui hanya 436 yuan/tahun, dan berada di bawah rata-rata Yunnan. Empat tahun kemudian meningkat menjadi 1.240 yuan, dengan pendapatan dari pariwisata menyumbang sekitar 90 persen total pendapatan desa.
Menurut data kunming.cn, pada 2010 pendapatan per kapita penduduk di pusat pariwisata Danau Lugu mencapai 5.945 yuan, jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata Yunnan yang baru 3.952 yuan. Data lain menyebutkan, dalam 20 tahun terakhir, pendapatan per kapita penduduk desa wisata di sekitar Danau Lugu, khususnya orang Mosuo, telah meningkat sekitar 40 kali lipat. Dari sekitar 829 yuan tahun 2003 menjadi 34.500 yuan atau sekitar Rp74 juta tahun 2023.
Meningkatnya pendapatan masyararakat Mosuo dari pariwisata tentu didorong oleh peningkatan jumlah turis ke kawasan desa-desa di Danau Lugu bagian Yunnan, terutama ke Desa Luoshui. Data 2023 menyebutkan, sepanjang tahun itu sekitar setengah juta wisatawan (lebih 90 persen lokal) datang ke desa itu.
Berkat kemajuan pariwisata, kini setiap keluarga Mosuo berpartisipasi sebagai pelaku bisnis ini dengan membuka hotel dan penginapan, restoran, toko suvenir, hingga tempat hiburan dan pertunjukan kesenian. Ikut pula menikmati kue pariwisata ini adalah pelaku kerajinan tradisional seperti pembuat tenunan, sulaman dan sebagainya.
Kini sepanjang jalan poros yang membagi dua Luoshui Atas dan Luoshui Bawah, penuh dengan restoran, toko sovenir dan tempat penjualan hasil kerajinan, di samping Museum Mosuo. Sementara di sepanjang tepi danau di Luoshui Bawah berjejer puluhan hotel dan rumah penginapan dan diselang-selingi toko-toko hasil kerajinan tradisional masyarakat Mosuo.
Apakah bisnis terkait pariwisata itu sebagian besar dimiliki oleh orang Mosuo? “Di samping usahanya, kami berusaha mempertahankan kepemilikan properti tetap di tangan orang Musuo. Kalau ada bangunan yang dipakai oleh orang luar atau pendatang, itu bentuknya sewa dari orang Musuo,” jelas Erqing, pengusaha dan tokoh masyarakat Mosuo.
Ia menyebut, ada kesepakatan dari para pemimpin masyarakat Mosuo untuk tidak menjual tanah-tanah milik keluarga yang telah diwarisi secara turun-temurun. “Kalau kami tidak mampu mengelolanya menjadi usaha ekonomi, paling-paling hanya boleh disewakan. Ia mencontohkan riwayat tanah lokasi Museum Musuo yang didirikannya. Tanah itu bukan dibelinya dari orang Musuo dari keluarga lain. Tetapi adalah hasil tukar guling dengan tanah di lokasi lain yang semula milik keluarga Erqing. Begitulah cara orang Mosuo mempertahankan identitas, budaya dan eksistensi mereka di tengah serbuan komersialisasi khususnya di sektor pariwisata. (h/Hasril Chaniago)














