HARIANHALUAN.ID – Dua surat kaleng yang mencuat di Sumatera Barat (Sumbar) pada tahun 2025 mengundang perhatian publik. Bukan tanpa alasan. Kedua surat itu berisi tuduhan serius: dugaan pungu tan liar (pungli), penyimpangan prosedur, dan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang melibatkan dua pejabat tinggi di lingkungan Pemerintah Provinsi Sumbar.
Secara kronologis, surat kaleng pertama bertanggal 25 Mei 2025 menyasar Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Sumbar. Tak berselang lama, muncul lagi surat kaleng kedua, kali ini bertanggal 16 April 2025, yang mengarah kepada Kepala Dinas Perkebunan Tanaman Pangan dan Hortikultura (Disbuntanhor) Sumbar.
Dalam surat kaleng yang kedua, pengirim mengaku berasal dari kalangan internal Aparat Sipil Negara (ASN), yakni karyawan dan karyawati Disbuntanhor Sumbar.
Menariknya, kedua surat kaleng tersebut langsung dikirim ke Kejaksaan Tinggi Sumbar, bukan kepada Inspektorat atau lembaga pengawasan internal. Kehadiran surat kaleng ini mengisyaratkan sesuatu yang lebih mendasar daripada sekadar keluhan anonim.
Ia mencerminkan krisis keperca yaan terhadap mekanisme pelaporan internal. Respons para pejabat yang disebut pun beragam. Kepala Bapenda mengakui sebagian isi surat itu, khususnya terkait permintaan sumbangan. Namun, ia menyebutnya sebagai “sumbangan sukarela” bukan pungli.
Pernyataan ini justru memunculkan kesan adanya praktik transaksi keuangan yang tak sepenuhnya sesuai prosedur dan rawan disalahgunakan. Di sisi lain, Kepala Disbuntanhor membantah keras tuduhan yang dialamatkan kepadanya.
Ia menyebut dirinya sebagai korban fitnah. Kontras ini memperlihat kan betapa surat kaleng adalah entitas yang kompleks. Di satu sisi, ia bisa menjadi saluran bagi kebenaran yang tak terungkap secara terbuka. Namun di sisi lain, ia juga berpotensi menjadi alat fitnah yang berbahaya.
Di sinilah letak dilemanya. Jika surat kaleng diabaikan begitu saja, informasi penting bisa terlewatkan. Tetapi jika ditelan mentah-mentah, ia bisa mencemari reputasi seseorang tanpa dasar hukum yang sah.
Selain itu, surat kaleng juga punya kelemahan lain. Pihak tertuduh akan mudah membantah dan mengklaim sebagai korban fitnah. Sementara publik kesulitan membedakan mana yang fakta dan mana yang rekayasa.










