Dari sini muncul pertanyaan, apakah kehadiran surat kaleng mesti ditanggapi secara serius atau diabaikan begitu saja? Sebagian kalangan menilai bahwa surat kaleng yang memuat nama, peristiwa, dan rincian yang konkret tak bisa serta-merta dikesampingkan.
Apalagi bila terdapat pengakuan dari pihak yang dituduh, sekalipun dibungkus dengan istilah yang lebih lunak. Namun terlepas dari kebenaran isinya, fenomena surat kaleng mencerminkan persoalan yang lebih mendasar: ketakutan untuk melapor secara terbuka.
ASN yang menyaksikan pelanggaran sering kali memilih diam atau menempuh jalur anonim karena merasa tak aman. Melapor melalui saluran resmi beresiko berujung pada mutasi, intimidasi, bahkan kriminalisasi.
Dalam kondisi seperti ini, surat kaleng menjadi saluran alternatif, sunyi, tetapi bernyali. Padahal, dalam tata kelola pemerintahan yang sehat, pengawasan internal dan pelaporan pelanggaran seharusnya menjadi bagian dari budaya organisasi. ASN perlu diberi ruang aman untuk menyuarakan kebenaran tanpa takut dikorbankan.
Namun realitas di lapangan menunjukkan sebaliknya. Tak jarang pelapor justru menjadi korban dari sistem yang ada. Secara normatif, perlindu ngan terhadap pelapor (whistleblower) sebenarnya sudah diatur.
UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang telah diubah dengan UU Nomor 31 Tahun 2014, secara eksplisit menjamin perlindu ngan terhadap saksi pelapor. Pasal 10A menegaskan hak pelapor atas perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), termasuk identitas dan keselamatannya.
Selain itu, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 memberikan panduan agar hakim mempertimbangkan peran pelapor dalam memberi kan keringanan hukuman, apabila ia juga terlibat dalam perkara. Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2000 memberi ruang bagi masyarakat untuk melaporkan dugaan korupsi dan menjamin perlindungannya.
Di tingkat kelembagaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menerbitkan Peraturan No. 4 Tahun 2021 tentang Sistem Pelaporan Pelanggaran (Whistleblowing System), yang menjadi rujukan dalam membangun sistem pengaduan internal yang aman.
Namun, regulasi yang bagus tidak akan berarti banyak jika tidak diikuti dengan implementasi yang kuat. Banyak kasus menunjuk kan bahwa whistleblower justru menjadi sasaran tekanan. Mereka dipindahkan, dikucilkan, bahkan diancam usai memasukkan laporan.










