Alih-alih memperkuat transparansi, sistem justru membungkam mereka yang berupaya menyuarakan kejujuran dari dalam. Dalam konteks ini, fenomena surat kaleng mestinya dibaca sebagai alarm peringatan. Ia tidak semata gangguan, tapi tanda bahwa sistem sedang tidak baik-baik saja.
Pemerintah daerah dan instansi vertikal perlu segera memperkuat kanal pelaporan internal. Dibutuhkan unit pengaduan yang independen di setiap Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang menjamin kerahasiaan pelapor, serta memiliki akses langsung ke lembaga pengawasan eksternal, seperti LPSK dan Ombud sman.
Sosialisasi mengenai hak pelapor juga perlu ditingkatkan, karena masih banyak ASN yang tidak mengetahui bahwa mereka memiliki perlindungan hukum jika berani melapor. Yang tak kalah penting adalah keberanian politik dari pimpinan instansi.
Pimpinan yang menutup mata terhadap pengaduan atau bahkan melindungi pelanggar adalah bagian dari persoalan itu sendiri. Retaliasi terhadap pelapor semestinya dianggap sebagai pelanggaran berat yang dikenai sanksi adminis tratif dan pidana.
Pada akhirnya, surat kaleng adalah sebuah gejala. Ia bisa lahir dari frustrasi yang tak tersalurkan. Ia dapat pula muncul dari niat buruk yang disamarkan. Namun satu hal yang pasti: surat kaleng tak akan mencuat jika sistem pelaporan internal berjalan dengan baik dan para pelapor merasa aman menyuarakan kebenaran.
Jika negara gagal menciptakan ruang yang aman itu, maka surat-surat tanpa nama akan terus berseliweran. Ia akan menyelinap masuk ke meja penegak hukum dan menjadi bagian dari kegadu han birokrasi. Lebih dari sekadar lembaran tanpa identitas, surat kaleng adalah cermin.
Ia merefleksikan sisi gelap dari sistem yang gagal melindungi integritas. Seperti pada umumnya cermin, surat kaleng memperlihatkan sisi gelap yang mungkin enggan kita akui. Kita hanya punya dua pilihan: melihat dan memperbaiki, atau mengabaikan dan membiarkan kerusakan itu terus terjadi. (*)
Oleh: Peneliti Unhan RI, Edomi Saputra










