PADANG, HARIANHALUAN.ID — Meski angka kemiskinan Sumatera Barat (Sumbar) tercatat menurun menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2025, sejumlah akademisi mengingatkan agar capaian tersebut tidak dibaca secara sepihak.
Salah satunya adalah Direktur Sustainable Development Goals (SDGs) Universitas Andalas (Unand), Prof. Dr. Elfindri, yang menilai bahwa realitas di lapangan menunjukkan tantangan yang jauh lebih kompleks, terutama bagi masyarakat pedesaan dan kelompok kelas menengah.
“Kalau kita pakai ukuran garis kemiskinan versi BPS, memang betul terjadi penurunan dan itu konsisten dari waktu ke waktu. Tapi penurunan ini tipis. Ketika angka sudah di bawah dua digit, penurunan berikutnya menjadi jauh lebih berat,” ujarnya kepada Haluan, Minggu (27/7/2025).
Prof. Elfindri menyoroti ketimpangan spasial dalam data kemiskinan. Meskipun kemiskinan di perkotaan tercatat menurun, angka di pedesaan justru menunjukkan kenaikan. Menurutnya, salah satu penyebab utama kondisi ini adalah melemahnya Nilai Tukar Petani (NTP) yang terpukul oleh tekanan inflasi, khususnya pada kebutuhan pokok seperti beras, cabai, dan bahan bakar minyak (BBM).
“Inflasi kebutuhan pokok sangat memukul daya beli masyarakat desa. Ini membuat mereka semakin sulit keluar dari jerat kemiskinan,” katanya.
Ia juga mengkritisi penurunan angka kemiskinan di perkotaan yang tampak tidak sejalan dengan kenyataan di lapangan. Fenomena kesulitan mencari kerja formal, lesunya usaha mikro, dan peningkatan pengangguran di kalangan berpendidikan menengah hingga tinggi menjadi sorotan utama.
“Ini bukan hanya terjadi di Sumbar, tapi juga di banyak provinsi lain. Kita lihat masyarakat semakin sulit berkembang,” ucap Guru Besar Fakultas Ekonomi Unand itu.
Prof. Elfindri turut mengingatkan soal perbedaan metodologi pengukuran kemiskinan antara BPS dan Bank Dunia. Jika digunakan tolok ukur Bank Dunia sebesar USD6,85 per kapita per hari, maka jumlah penduduk miskin di Indonesia bisa melonjak drastis menjadi 63,3 juta orang.
“Artinya, banyak orang yang tidak masuk kategori miskin menurut BPS, tapi sebenarnya berada dalam kemiskinan menurut standar internasional. Di situlah letak kerentanan yang belum tersentuh,” katanya.














