Lalu pertunjukan dibuka dengan talempong kolosal yang dimainkan Jaguank bersama Lab Art Project. Pukulan talempong membuka dan menggugah pertunjukan yang berpanggung di panggung prosenium modern ala konser. Bunyian talempong diiringi sorotan lampu seperti saling berkawan.
Kemudian musik bernuansa magis sudah menunggu setelahnya, dari Sanggar Seni Sipaumat Mentawai. Ukiran tato dan kostum di tubuhnya telah menggambarkan mereka sebagai orang asli Mentawai. Musik-musik mereka sederhana, tidak tersentuh semacam modifikasi yang berlebihan. Ini menandakan mereka masih teguh dengan ketradisiannya dari baratnya Sumatra Barat.
Setelah musik magis itu berpanggung, Mak Lenggang dengan koleganya hadir mengingatkan kembali masa silam orang-orang Minang yang sedang bagurau basaluang. Pasambahan kato menjanangi pertunjukan saluang dengan dendang-dendang saisuak. Mungkin, penonton-penonton uzur menikmati pitunang masa lalunya.
Gamad Pituah Minang (setelah Mak Lenggang) membawa musiknya dari pesisiran Padang ke Bukittinggi. Pakaian ala Melayu dan paduan musik tradisi dan barat mengiramakan gamaik dengan lirih. Bagamaik merupakan musik yang sudah cukup tua dan dikenal asalnya dari pesisiran Kota Padang.
Lalu, Sangko Sora menemani jiwa-jiwa anak muda. Padu padanan berbagai alat musik merka kemas ke dalam musik-musik yang termodifikasi dari hal-hal yang konvensional. Bukan lari dari sifat alamiah tradisinya, tapi Sangko Sora hanya menghadirkab gaya baru melalui eksperimentalnya agar semakin menarik. Mungkin saja ini pesan, musik tradisi pun tak lekang oleh perkembangan zaman.
Setelah berkutat dalam balutan musik tradisi Sumbar, Paul Mugisha Mussa dari Tanzania Afrika memberi aroma baru. Pertunjukan Paul hadir sebagai sebuah keyakinan, bahwa musik bisa berbicara dan berdiplomasi. Ia mengomunikasikan budayanya melalui musik, yang tak melulu pengenalan ditafsirkan dalam bahasa dan cara lain saja. Dari musik pun, budaya akan semakin bisa dikenal baik oleh orang-orang dengan tatapan dan warna-warna musik yang dipanggungkan.
Dan mengakhiri malam pertama Pitunang Ethnogroove, nyanyian Ajo Buset menutup malam yang dingin dengan dasar bagurau-nya yang bertransformasi menjadi sebuah seni lagu. Beberapa lagu ia mainkan agar penutup malam pertama meninggalkan kesan bagi para penonton yang masih setia bertahan menikmati gelaran festival musik tradisi tersebut. (*)














