Sekolah Rakyat adalah salah satu upaya untuk memutus mata rantai kemiskinan di Indonesia melalui sektor pendidikan. Anak-anak yang bersekolah di Sekolah Rakyat diharapkan bisa tumbuh menjadi generasi yang lebih baik dan mampu mengangkat keluarganya dari jurang kemiskinan.
HARIANHALUAN.ID – Suasana itu terlihat asing. Mungkin sudah lama mereka tak merasakannya lagi. Ada yang sibuk dengan dirinya sendiri, bergelut dengan teman lain, plonga-plongo melihat besarnya ruangan, mengotak-atik kotak dan botol sisa sarapan dan sebagian lainnya tengah asyik mendengarkan guru.
Begitulah yang terlihat selama dua minggu berlangsungnya pembelajaran di Sekolah Rakyat Menengah Pertama (SRMP) 4 Padang di Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial (BBPPKS) Kementerian Sosial (Kemensos) di Kapalo Koto, Kecamatan Pauh, Kota Padang.
Azmi Ade Karina, seorang guru Bimbingan Konseling (BK) di sekolah itu mengatakan memang begitulah adanya. Lagipula, katanya, ini masih dalam suasana Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS), jadi suasananya memang tidak terlihat kaku.
“Kalau perangai itu wajar-wajar saja. Kita sama-sama tahu, dengan latar belakang anak-anak ini tentunya menjadi tantangan kami untuk menanamkan kembali nilai-nilai yang lebih baik kepada mereka,” ujarnya kepada Haluan, Kamis (31/7/2025).
Dalam suasananya kini, menurut Azmi, hal ini merupakan sesuatu yang wajar. Di usia mereka, ini masih dianggapnya ranah untuk bermain. Sehingga keusilan-keusilan, sibuk sendiri, dan perangai-perangai yang terlihat masih terbilang wajar. Namun di sisi lain, mental anak-anak yang dinilai cukup kuat jadi modal bagus untuk merealisasikan tujuan dari Sekolah Rakyat tersebut.
“Rata-rata mereka memiliki simpati yang cukup baik. Karena asrama ini kan kami juga punya kegiatan, yang intinya untuk pembentukan karakter. Kami ajarkan mereka tenggang rasa, empati, hormat-menghormati, dan nilai baik yang Insyaallah kami yakini akan tercapai nantinya,” ujarnya.
Di sisi lain, ada hal yang sangat menarik dari siswa siswi Sekolah Rakyat ini. Meski mereka berasal dari siswa putus sekolah atau keluarga miskin, tapi sebagian besar dari mereka sudah memiliki cita-cita yang luar biasa. Artinya, di tengah keterbatasan mereka dalam pendidikan dulunya, asa mereka untuk tetap bisa sekolah sangatlah besar.
“Rata-rata dari mereka ingin menjadi TNI dan polisi. Yang perempuan juga begitu, banyak pula yang berkeinginan menjadi polwan. Ini pula yang kami rasa tepat bahwa pembentukan karakter ini memang menjadi kuncinya. Tapi kini mereka merasa sedang bermain dan tidak sekolah, karena belum berseragam dan hal-hal lain yang ditangkap indrawinya tentang sekolah secara umum. Semoga mereka kelak akan tercapai cita-cita luhurnya,” katanya.
Begitu juga yang disampaikan Riyanti Aulia, seorang guru Bahasa Inggris. Ia yang baru pertama kali merasakan suasana pembelajaran seperti ini, baginya hal ini pula yang membuatnya merasa tertantang, meski sempat khawatir ketika pertemuan pertamanya mengajar siswa siswi tingkat SD menuju SMP.














