Menurut Luhur, subsektor film menjadi primadona karena efek dominonya yang luas. Banyaknya produksi film di Sumbar turut menghidupkan subsektor lain, seperti kuliner, fashion, pertunjukan seni, hingga jasa produksi video.
Dalam pembinaan ekraf, Dispar Sumbar menjalankan berbagai program, seperti Focus Group Discussion (FGD), pasar ekraf, pelatihan digital marketing, hingga fasilitasi HAKI. Selain itu, dibentuk Forum Komunikasi Ekraf Sumbar sebagai wadah kolaborasi antar pelaku usaha. Saat ini, 14 dari 19 kabupaten/kota telah memiliki forum tersebut dan sisanya ditargetkan menyusul dalam waktu dekat.
Setiap daerah di Sumbar memiliki kekhasan ekraf tersendiri. Kota Padang dan Bukittinggi dikenal lewat kekayaan kulinernya, Payakumbuh dengan pertunjukan seni dan kriya, Agam unggul di kerajinan tangan, sedangkan Tanah Datar dan Padang Panjang menonjol dalam seni tradisional.
Keanekaragaman ini menjadi kekuatan Sumbar untuk menjadi provinsi ekonomi kreatif yang tangguh. Terlebih, sektor ekraf dinilai sebagai motor penggerak ekonomi pascapandemi melalui inovasi dan diversifikasi sumber pendapatan.
Namun, tanpa HAKI, produk ekraf rawan ditiru atau disalahgunakan. Oleh karena itu, pemerintah mendorong setiap pelaku usaha untuk segera mendaftarkan karya mereka agar terlindungi secara hukum.
“Target kami ke depan adalah seluruh pelaku ekraf yang terdata memiliki HAKI. Dengan begitu, selain terlindungi, mereka juga bisa lebih mudah menembus pasar nasional maupun internasional,” tutur Luhur. (*)














