PADANG, HARIANHALUAN.ID — Produksi gambir Sumatera Barat (Sumbar) mendominasi pasar dunia, namun kesejahteraan petaninya justru tertinggal jauh di belakang angka ekspor yang memukau.
Di balik aroma khas gambir yang mengharumkan nama Indonesia, terselip kisah getir ribuan petani yang terjebak dalam lingkaran kemiskinan. Kehadiran Desa Devisa Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota digadang menjadi pintu keluar yang akan mengubah nasib mereka, dari sekadar penjual bahan mentah menjadi penguasa pasar ekspor.
Sumbar hingga kini masih menjadi produsen gambir terbesar di Indonesia. Sebanyak 85 persen kebutuhan ekspor gambir nasional dipasok dari Ranah Minang. Ironisnya, potensi besar ini belum berbanding lurus dengan kondisi petani yang masih jauh dari kata sejahtera.
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Sumbar, Mohammad Dody Fachrudin, menjelaskan bahwa Desa Devisa merupakan program pembinaan dan pendampingan petani yang diinisiasi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melalui Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Program ini, katanya, selaras dengan visi Presiden Prabowo Subianto untuk membangun Indonesia dari desa.
“Perencanaan sudah sejak tahun lalu, tetapi baru terealisasi 29 Juli kemarin di Lima Puluh Kota,” ujar Dody saat ditemui Haluan di ruang kerjanya, Senin (11/8/2025).
Pemilihan Lima Puluh Kota sebagai lokasi perdana Desa Devisa Gambir didasari kontribusi besar daerah tersebut. Produksi gambir di sana mencapai 9.000 ton per tahun, atau sekitar 80 persen dari total produksi gambir Sumbar. Tercatat sekitar 100 ribu petani tersebar di 35 nagari menggantungkan hidup pada komoditas ini.
“Dari hasil diskusi dengan Pemprov Sumbar, 90 persen ekspor gambir Indonesia berasal dari Sumbar. Potensinya sangat besar. Sayangnya, petani masih menjual bahan mentah, belum produk olahan ekspor,” ucap Dody.
Situasi ini membuat harga jual rendah dan keuntungan besar justru dinikmati perusahaan pengolah, sementara petani tetap berada di bawah garis sejahtera.














