Ketika ABS-SBK hanya jadi hiasan saja, dampaknya generasi Minangkabau terancam kehilangan jadi diri budaya mereka. Jati diri budaya adalah keunikan atau ciri khas cara hidup sekelompok orang atau suatu etnik/suku kaum atau bangsa. Suatu kaum atau bangsa akan menjadi besar jika nilai-nilai adat/budaya berakar kuat dalam kehidupan masyarakatnya (Setiowati 2019). Jati diri budaya adalah tameng dalam upaya mempertahankan keberadaan suatu suku kaum atau bangsa, agar tidak mudah dipengaruhi oleh berbagai macam corak budaya atau ideologi yang datang menyerang dari luar, inilah wujud dari perang budaya.
Bukti-bukti Kelunturan Jati Diri Minangkabau
Hasil pengamatan dan penelitian menunjukkan bahwa dua unsur utama dalam falsafah ABS-SBK, yaitu adat dan agama, kini keduanya sedang mengalami proses ketergerusan. Dari kedua unsur tersebut, terdapat beberapa bukti bahwa hari ini orang Minangkabau sedang mengalami kelunturan jati diri budayanya, antara lain:
Dari Perspektif Adat Budaya. Pertama, Bahasa Minangkabau mulai ditinggalkan: Salah satu gejala paling nyata dari kerusakan atau krisis identitas (jati diri) ini adalah lunturnya penggunaan bahasa Minangkabau dalam rumah tangga akibat pengaruh modernisasi. Generasi para orang tua kelahiran sekitar 70-an dan 80-an ke atas lebih memilih berbahasa Indonesia dengan anak-anak mereka ketimbang berbahasa Minangkabau. Sebenarnya sudah dimulai sejak orang tua kelahiran 60an, tetapi semakin menjadi-jadi di zaman ibu bapa kelahirah 80an ke atas. Alasannya, bahasa Indonesia dianggap lebih modern dan netral. Sedangkan di satu sisi, Sapir (1921) mengatakan “Language is a guide to social reality”. Artinya, bahasa itu adalah kendaraan utama budaya, atau tuntunan untuk memahami realitas sosial.
Kedua, upacara adat dan nilai-nilai luhur mulai kehilangan makna: Perkawinan adat, batagak pangulu, dan alek nagari makin jarang dilakukan secara utuh sesuai amanat warisan. Artinya, ketidak-fahaman karena minimnya pengetahuan adat, membuat pelaksanaannya terkadang hanya menjadi seremoni tanpa pemaknaan adat yang sesungguhnya. Selain itu, hari ini kebanyakan para penghulu dan ninik mamak hanya ingin menyandang gelar supaya dipanggil “datuk” sebagai titel, tanpa tahu makna, fungsi dan perannya sebagai mamak atau kepala kaum. Sementara itu, anak-anak muda banyak yang tidak lagi mengenal struktur kekerabatan matrilineal, sistem suku, dan fungsi mamak dan penghulu adat. Bahkan ada yang tak kenal suku dan datuknya.
Ketiga, Pudarnya kepemimpinan adat: Hari ini posisi ninik mamak di banyak nagari melemah, kadang hanya sebagai formalitas saja. Fungsi mereka sebagai penuntun adat mulai tergantikan oleh tokoh politik atau pemuka agama. Lemahnya proses pewarisan atau regenerasi yang terdidik secara adat, dan menurunnya penghormatan terhadap pemangku adat berdampak pada berkurangnya otoritas adat dan peran ninik mamak dalam menyelesaikan berbagai konflik sosial. Hukum adat yang lebih mengedepankan unsur musyawarah mufakat mulai terlupakan, masyarakat cenderung berpikir untuk menempuh jalur hukum resmi dan umum, seperti pidana atau perdata.
Selanjutnya, nagari sebagai basis budaya digantikan oleh sistem administratif: Setelah Minangkabau kehilangan pemerintahan Nagari dan berganti dengan pemerintahan Desa pada tahun 1979, maka sejak era reformasi 1999, sistem pemerintahan Nagari dihidupkan kembali, namun sering kali hanya sebagai struktur birokrasi layaknya pemerintahan Desa saja. Nilai-nilai sosial budaya yang dulu hidup dalam tatanan Nagari, hari ini tidak lagi menjadi prioritas.










