Dari Perspektif Agama. kelunturan pada unsur agama. Meskipun secara statistik masyarakat Minangkabau dikenal agamis, namun ada indikasi bahwa kini praktek keagamaan mulai terpesong, yang hanya cenderung kepada ritual dan simbol-simbol saja, tidak lagi meliputi sosial spiritual yang menyeluruh, contohnya: Dominasi pendidikan ritual yang minim etika sosial. Banyak pesantren dan sekolah Islam menekankan hafalan, fiqih ibadah, tapi kurang dalam pembentukan perilaku sosial (akhlak terhadap sesama). Dampaknya, ditemui ada di antara anak-anak hafiz yang rajin ibadah ritual, tapi kurang sopan santun budaya Minangkabau, bahkan terkadang terlihat kurang hormat. Dalam hal ini kita perlu belajar kepada Jepang.
Maraknya fenomena kemunafikan sosial. Di antara ritual, simbol dan moral tersebut, berbagai macam kasus korupsi juga bermunculan, praktik suap, dan penyimpangan moral tetap terjadi walaupun pelakunya dikenal religius secara formal. Maarif (2021) menyatakan bahwa dewasa ini banyak umat Islam yang aktif secara ritual namun tidak merefleksikan nilai-nilai kemanusiaan universal yang diajarkan Al‑Qur’an.
Simbolisme keagamaan lebih dominan dari substansi. Membangun masjid megah, membagikan mushaf, atau acara dakwah besar-besaran sering kali lebih menonjol, dibanding penerapan nilai sosial keislaman seperti kejujuran, keadilan, dan empati. Azra (2008) menyoroti bahwa Islam hari ini makin simbolik dan dangkal jika tidak dibarengi dengan pendidikan karakter dan etika sosial.
LGBT dan seks bebas di kalangan remaja. Berdasarkan sejumlah laporan media, tidak dapat disangkal bahwa perilaku seks menyimpang seperti LGBT sudah merambah ke sejumlah pesantren dan sekolah di Ranah Minangkabau. Hal ini menunjukkan ketimpangan serius antara pengajaran agama secara formal dengan pengawasan moral dan lingkungan sosial.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedua unsur inti filosofi ABS-SBK, yakni adat dan agama, yang seharusnya saling bersinergi dalam membentuk jati diri masyarakat, kini justru melemah secara bersamaan. Kelunturan ini tidak hanya mengancam eksistensi nilai budaya Minangkabau, tapi juga membuka ruang bagi krisis moral dan sosial di kalangan generasi muda.
Keterpinggiran Bahasa, Awal Pemicu Krisis Identitas
Kini di Ranah Minangkabau, ajaran adat dan budaya sudah terpinggirkan dan dianggap tidak penting. Ia tidak lagi masuk ke dalam sistem pendidikan baik formal maupun informal sebagai proses pewarisan. Membuat generasi muda semakin jauh dari adat budayanya. Sekarang mereka lebih akrab dengan budaya pop dan gaya hidup moderen, tanpa memahami sejarah dan nilai-nilai budaya yang ada, semisal dalam tambo, pepatah petitih, atau sistem kekerabatan Minang yang matrilineal.










