Lebih parahnya lagi, bahasa Minangkabau sebagai bahagian dari aspek budaya yang sangat penting dalam upaya mempertahankan identitas (jati diri) – karena bahasa menunjukkan bangsa/kaum – kini secara perlahan ditinggalkan oleh kebanyakan para orang tua. Di rumah dengan anak-anak, mereka berbahasa Indonesia karena merasa lebih “keren & moderen”, bahasa Minangkabau dianggap kasar dan kuno.
Sekarang mari kita lihat beberapa pernyataan pakar bahasa dunia, dan mengapa Barat begitu sangat peduli dengan bahasa. Lemkin (1944) penemu istilah genosida, mendefinisikan bahwa genosida tidak hanya sebagai pembunuhan fisik, tetapi juga penghancuran struktur sosial, budaya dan agama. Ia menegaskan, genosida bahasa adalah unsur utama dalam membunuh ‘jiwa’ suatu bangsa atau etnik. Selanjutnya Kangas (2000) mengembangkan istilah linguicide (penghancuran bahasa) adalah membunuh suatu etnik atau bangsa tanpa senjata. Karena, ketika suatu kelompok kehilangan bahasanya, maka mereka akan turut kehilangan kemampuan untuk mengenal dan melanjutkan eksistensinya sebagai suatu kelompok yang berbeda. Sementara itu, Ngugi (1986) menyatakan, bahasa kolonial (Inggris dan lain-lainnya) adalah “bom budaya” yang menghancurkan ingatan kolektif, identitas dan keyakinan diri masyarakat pribumi. Sedangkan di satu sisi, bahasa adalah inti perlawanan kepada kolonialisme, sekaligus alat pemulihan budaya.
Ketika saya menghadiri Konferensi Bahasa Daerah pada 2016 di Bandung, Salah seorang peserta asing memaparkan hasil penelitiannya, yang membuat saya kaget, bahwa salah satu dari 25 bahasa daerah di Indonesia yang terancam punah karena ditinggalkan oleh penurutnya adalah bahasa Minangkabau. Lalu, jika demikian, apa yang akan terjadi dengan Minangkabau ke depan, yang kini sedang menghadapi krisis identitas? (*)










