Oleh: Dirwan Ahmad Darwis (Peneliti Jati Diri Budaya)
ABS-SBK dalam Krisis Pewarisan
Zaman dulu, pewarisan adat Minangkabau – yang kaya akan nilai demokrasi, musyawarah, etika sosial, dan relasi egaliter antara perempuan dan laki-laki – kini telah kehilangan tempatnya dalam pendidikan formal maupun non-formal. Kalaupun ada, tapi sifatnya tidak menyeluruh dan tidak sistemik. Buku pelajaran sekarang tidak lagi memuat BAM (Budaya Alam Minangkabau), dan guru-guru tidak ada lagi yang memiliki kompetensi mumpuni untuk mentransmisikan nilai-nilai ABS-SBK tersebut secara kontekstual.
Menurut Afrilya, Siregar & Jubaedah (2020), kearifan lokal Minangkabau kini semakin tersingkir dari dunia pendidikan, karena tidak lagi dianggap relevan oleh kurikulum nasional yang terlalu terpusat. Akibatnya, generasi muda tidak mengenal nilai, tidak bangga dengan identitasnya, sementara mereka sangat terbuka dan rentan terhadap budaya luar yang masuk tanpa ada filter. Ini membuat generasi Minangkabau makin menjauh dari perilaku adat budayanya.
Setelah pelajaran BAM dihilangkan pada 2013, anak-anak sekarang tidak lagi memahami sejarah dan adat budayanya. Rasa cinta mereka terhadap Minangkabau menipis, dan cenderung melihat Minangkabau dari sisi kekurangannya. Hal ini akan membuat mereka kehilangan jati diri (lost identity), dan pada saatnya nanti dapat mengancam keutuhan dan persatuan masyarakat. Karena pengaruh ideologi lain akan mudah masuk, memecah belah dan merusak tatanan kehidupan Minangkabau yang sudah terbina selama ini.
Simbolisme, Ritualisme Agama dan Ketimpangan Sosial
Ajaran agama Islam seharusnya memperkuat nilai-nilai sosial dan moral, justru kini lebih banyak diajarkan dan diamalkan dalam bentuk ritualistik dan simbol-simbol. Bagaikan sebuah festival, kini rumah ibadah (masjid dan musala) dibangun dengan megah, namun terkesan lebih untuk kebanggaan warga dan para donatur. Masjid cantik dan indah itu hanya ramai ketika hari Jum’at dan hari besar Islam lainnya, sedangkan ketika sholat lima waktu, apa lagi subuh, hanya segelintir orang-orang tua yang hadir. Pondok tahfiz menjamur, anak-anak didorong menjadi hafiz, rajin sholat, tapi di saat yang sama, kita menyaksikan realitas yang kontras: perilaku kasar, kurang sopan santun adat budaya Minangkabau, dan sempit pergaulan sosial. Bahkan muncul kasus-kasus menyimpang, kekerasan, hingga penyimpangan seksual, yang juga terjadi di lingkungan yang katanya “religius”.
Di sisi lain, dalam kalangan dewasa juga begitu, menampilkan kesan pribadi yang religius, seperti jidat hitam sebagai simbol kuatnya ritual ibadah, berpakaian “jubah & kopiah haji” mulai meninggalkan simbol budaya Minangkabau “sarung, baju taluak balango & kopiah”. Jubah diartikan sebagai pakaian Islami, pada hal itu budaya Arab. Mereka tidak tahu kalau di tanah Arab sana orang non-Muslim juga pakai jubbah. Banyak lagi simbol dan ritual yang menampilkan ke-sholeh-an “pribadi”, tetapi meninggalkan kesalehan “sosial”. Hablum minannas kini kurang mendapat tempat, sehingga ketimpangan sosial semakin menganga.
Fenomena ini akhirnya menciptakan agama yang simbolik, serta adat yang kosmetik. Agama diamalkan dalam bentuk yang indah di permukaan, namun kering di dalam. Kita lihat banyak orang rajin salat, aktif di pengajian, berlomba membangun masjid. Tapi itu belum menjamin perilaku sosial dan kepedulian terhadap sesama. Ada hafiz yang fasih melantunkan al-Qur’an, namun tidak tahu tata krama dan sopan santun Minangkabau. Ada tokoh masyarakat yang rajin puasa sunah, namun di saat yang sama memotong anggaran publik untuk kepentingan pribadi.










