Mirisnya, Ranah Minangkabau kini tercatat sebagai salah satu daerah dengan tingkat penyimpangan seksual/LGBT yang tinggi. Sebuah ironi dari tanah yang dulu dikenal dengan masyarakatnya yang “beradat dan beradab”.
Sejarah Membentuk Realitas: Dari Penjajahan Hingga ke Modernisasi
Kerusakan ini tidak terjadi memang secara tiba-tiba. Ia merupakan akumulasi dari berbagai faktor historis dan struktural. Pada masa penjajahan, Belanda telah memisahkan pendidikan umum dari pendidikan agama. Pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru meminggirkan otoritas adat dan ulama lokal, digantikan oleh sistem pendidikan dan kekuasaan yang sentralistik.
Dobbin (1987) mengamati bahwa semangat keagamaan dan adat yang kuat dalam masyarakat Minangkabau mulai goyah sejak intervensi kolonial Belanda dan kebijakan sentralisasi nasional pasca kemerdekaan. Selama berabad-abad lamanya, Nagari adalah pusat kekuatan peradaban Minangkabau. Di zaman kolonial, Stuer seorang pejabat penjajah Belanda telah merusak tatanan Nagari secara paksa, yang sudah tentu sekaligus merusak tatanan adat dan keutuhan masyarakat (Asnan 2023). Selanjutnya, di zaman Orde Lama, peristiwa PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) atas perintah Soekarno telah menghancurkan jati diri orang Minangkabau. Lalu, di zaman Orde Baru, pemerintahan Soeharto menghilangkan pemerintahan Nagari yang sudah berabad-abad lamanya dan menukar dengan Desa. Di zaman reformasi hingga kini, modernisasi, globalisasi dan berbagai macam faktor mempengaruhi pemikiran dan prilaku orang Minangkabau.
Dalam hal kerusakan beragama, menurut Hamka (1958) Islam masuk ke Minangkabau pada abad ke-14 melalui ulama-ulama dari Pasai dan Aceh, dan menyatu secara harmonis dengan adat, membentuk ABS-SBK. Namun harmoni itu mulai retak sejak kebijakan Orde Lama dan Orde Baru yang cenderung meminggirkan nilai-nilai lokal demi pembangunan yang seragam.
Hari ini, modernisasi dan globalisasi mempercepat keterasingan generasi muda dari akar budayanya. Dalam banyak keluarga urban, bahasa Minangkabau hanya digunakan oleh kakek-nenek, sementara cucunya tumbuh dalam lingkungan digital yang lebih mengenal TikTok daripada “kaba, randai”, atau “pepatah adat”. Gejala ini jika dibiarkan akan mengancam eksistensi Minangkabau bukan sekadar sebagai kelompok etnik, tetapi sebagai peradaban. Tanpa revitalisasi nilai, pada saatnya Minangkabau bisa saja tinggal menjadi nama administratif saja yang hanya tertulis dalam peta, tapi kehilangan seluruh substansi kehidupannya.
Sistem Pendidikan, Penentu ke Mana Kita Akan Melangkah
Nelson Mandela, seorang tokoh pejuang kemanusiaan dari Afrika Selatan mengatakan, bahwa “pendidikan adalah alat perang masa depan”. Berpijak kepada pernyataan Mandela tersebut, kita perlu mempersiapkan generasi Minangkabau masa depan yang mumpuni, terdidik, beradat/beradab dan berilmu, berwawasan luas, serta memiliki jati diri Minangkabau yang kuat. Untuk itu, kita perlu sistem pendidikan dengan kurikulum tertentu yang mampu menyandingkan muatan lokal dengan pendidikan umum. Pendidikan berbasis ABS-SBK harus segera menjadi prioritas. Kurikulum sekolah harus kembali mengajarkan tentang adat budaya, bahasa, dan sejarah lokal, seperti mata pelajaran BAM (Budaya Alam Minangkabau) dulu. Namun, ia harus didahului dengan satu kajian dan perencanaan yang serius dan matang. BAM seyogianya tidak hanya sebagai mata pelajaran, melainkan sebagai sistem nilai yang hidup, baik di rumah, di sekolah, maupun di ruang publik.










