Ketergantungan ini menimbulkan kerentanan, terutama ketika pemerintah pusat menghadapi kendala fiskal. “Jika pusat terkendala, keuangan daerah otomatis terganggu. Akibatnya, pembangunan di daerah tidak berjalan, fasilitas publik tidak diperbaiki, dan pelayanan publik ikut menurun,” kata Prof. Herri kepada Haluan pada Rabu (20/8).
Ia menambahkan, menurunnya pelayanan publik akan berdampak langsung terhadap perekonomian masyarakat. Pertumbuhan ekonomi bisa terhambat, yang pada gilirannya memicu meningkatnya angka pengangguran dan kemiskinan. Kondisi inilah yang perlu diantisipasi sejak dini oleh pemerintah daerah.
Dalam pandangannya, hal paling penting adalah menciptakan iklim investasi yang ramah. Pemerintah daerah perlu membuka ruang sebesar-besarnya bagi investor untuk menanamkan modal, sehingga tercipta usaha baru yang mampu menyerap tenaga kerja sekaligus meningkatkan PAD.
Meski demikian, Prof. Herri menilai kebijakan menaikkan pajak dan retribusi daerah tidak layak diterapkan ketika perekonomian masyarakat belum tumbuh. Ia mencontohkan kasus yang terjadi di Kabupaten Pati, di mana kebijakan serupa justru menimbulkan masalah sosial dan ekonomi.
Sebagai solusi, Prof. Herri menawarkan dua langkah strategis. Pertama, optimalisasi potensi yang ada. Menurutnya, masih terdapat banyak kebocoran dalam pemungutan pajak dan retribusi. “Contohnya pada sektor parkir. Banyak area parkir yang tidak dikuasai pemerintah daerah, sehingga pendapatan tidak masuk ke kas daerah,” katanya.
Selain itu, pajak reklame, restoran, dan kafe dinilai belum tergarap maksimal. Optimalisasi pemungutan bisa ditingkatkan dengan penerapan sistem berbasis teknologi informasi. Penggunaan IT akan meminimalisasi kebocoran sekaligus meningkatkan transparansi pengelolaan PAD.














