Meskipun terlihat keras secara visual, menurut Febry, ritual ini justru mencerminkan nilai kasih sayang, perlindungan, serta tanggung jawab sosial yang tinggi dalam komunitas Minangkabau terhadap tumbuh kembang anak.
Namun, ia juga menyoroti tantangan zaman yang mulai menggerus pemahaman generasi muda terhadap makna simbolik dalam tradisi ini. Banyak yang kini melihat Basarang sekadar sebagai tontonan eksotis tanpa memahami konteks kultural dan nilai-nilai yang melatarbelakanginya.
“Tugas kita sebagai akademisi dan masyarakat adat adalah menjembatani makna. Kita harus bisa mengemas tradisi ini sebagai bagian dari literasi budaya, agar tetap relevan dan dimengerti anak muda,” tegas Febry.
Penelitian ini menjadi salah satu upaya mendokumentasikan dan merefleksikan kembali praktik budaya yang mulai terpinggirkan di era globalisasi. Ia mendorong adanya sinergi antara pemerintah daerah, lembaga adat, serta institusi pendidikan untuk menyusun strategi pelestarian yang tidak hanya bersifat seremonial, tetapi juga edukatif.
“Ritual Basarang bukan hanya soal dua bayi, melainkan soal bagaimana masyarakat menjaga tatanan, membangun komunikasi sosial, serta mempertahankan identitas budaya di tengah gempuran modernitas. Nagari Kasang telah memberi kita pelajaran penting bahwa tradisi bisa hidup berdampingan dengan perubahan zaman,” pungkasnya.
Penelitian ini rencananya akan dipresentasikan dalam forum kebudayaan nasional sebagai salah satu bentuk kontribusi ilmiah terhadap pelestarian budaya lokal di Indonesia.
Penelitian ini didanai oleh HIBAH DIKTI Kemetrian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (kemendiktisaintek) melalui Direktorat Jenderal dan Pengembangan (Ditjen Risbang) Tahun Anggaran 2025. Penelitian ini juga didukung oleh Universitas Satya Terra Bhinneka dan Tim LPPM Universitas Satya Terra Bhinneka. (*)














