SOLOK SELATAN, HARIANHALUAN.ID – Hampir satu abad bertahan sejak dibangun tahun 1926, Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kelas II B Muara Labuh kini berada di ambang krisis. Bangunan tua yang awalnya hanya dirancang menampung 36 orang, kini dijejali 95 penghuni, hampir tiga kali lipat kapasitas ideal.
Potret buram ini kembali menegaskan persoalan klasik pemasyarakatan di Indonesia. Lonjakan jumlah tahanan bukan hanya menekan aspek keamanan, tetapi juga mengancam kualitas pembinaan dan kesehatan warga binaan.
Kepala Rutan Kelas II B Muara Labuh, Zulhendri, melalui Kepala Kesatuan Pengamanan Rutan, Yovie, mengungkapkan kondisi terkini dihuni oleh 34 narapidana dan 61 tahanan. “Jumlah penghuni terus bertambah, sementara daya tampung terbatas. Hal ini tentu menjadi tantangan bagi kami dalam menjaga keamanan sekaligus memberikan pembinaan,” ujarnya, Senin (1/9/2025).
Data resmi mencatat seluruh narapidana merupakan laki-laki. Sementara dari kategori tahanan, terdapat 56 laki-laki, empat perempuan, dan satu anak. Jika dirinci berdasarkan perkara, kasus narkotika mendominasi dengan 38 orang, disusul 13 kasus perlindungan anak, satu kasus trafficking, serta 43 kasus pidana umum lainnya.
“Lonjakan perkara narkotika ini menunjukkan ancaman narkoba semakin serius, bahkan di daerah,” kata Yovie.
Meski kondisi penuh sesak, hingga kini tidak ada warga binaan yang harus dirawat di rumah sakit. Klinik internal rutan juga tercatat nihil pasien. Namun, pihak rutan tetap melakukan berbagai langkah antisipasi guna menghindari potensi kerawanan, baik dari sisi keamanan, kesehatan, maupun pembinaan.
Dengan usia hampir seabad, bangunan Rutan Muara Labuh kian sulit mengimbangi jumlah penghuni yang meningkat pesat. Kompleksitas pengelolaan bertambah, apalagi gelombang kasus narkotika terus mendominasi.
Fenomena overkapasitas ini menegaskan perlunya langkah strategis dari pemerintah pusat dan daerah, baik melalui penambahan kapasitas, revitalisasi fasilitas, maupun penguatan program pembinaan dan rehabilitasi. Tanpa itu, Rutan Muara Labuh terancam menjadi “bom waktu” pemasyarakatan di Solok Selatan. (*)














