LAPORAN : Izwaryani
Komisioner KPU Sumatera Barat
DKPP adalah lembaga yang bertugas menangani kode etik penyelenggara pemilu. Dalam pelaksanaan tugasnya DKPP melakukan pengujian apakah tindakan penyelenggara pemilu sesuai atau bertentangan dengan prinsip-prinsip atau asas-asas ataupun Kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu maupun ketentuan peraturan perundang-undangan yang relevan. Penegakan kode etik ini sendiri bertujuan untuk menjaga integritas, kehormatan, kemandirian, dan kredibilitas penyelenggara pemilu. DKPP pun dijaga integritas, kehormatan, kemandirian, dan kredibilitasnya dengan suatu Kode Etik khusus. Salah satu prinsip kode etik yang wajib dipenuhi oleh DKPP Adalah asas kepastian hukum.
Kepastian hukum adalah adanya kepastian perlindungan atas hak-hak warga dan dipenuhinya harapan-harapan yang telah ditumbuhkan oleh organ pemerintah. Dengan demikian melanggar asas kepastian hukum berarti kegagalan dalam memberikan perlindungan atas hak-hak warga negara yang telah diberikan melalui peraturan perundang-undangan in casu perlindungan DKPP atas hak-hak KPU Kabupaten Pasaman sebagai penyelenggara pemilihan bupati.
Benarkah Putusan DKPP nomor 69-PKE-DKPP/II/2025 telah melanggar hak-hak hukum KPU Kab Pasaman? Tulisan ini akan menguraikannya melalui sebuah eksaminasi atas putusan a quo. Terdapat empat penilaian DKPP dalam pertimbangan putusan a quo pada halaman 74 sampai halaman 75 terkait dengan amar putusan yang menjatuhkan sanksi peringatan keras kepada teradu KPU Kabupaten Pasaman yang akan dijelaskan berikut ini.
Pertama dalam pertimbangannya DKPP menuliskan, “DKPP menilai, bahwa tindakan Para Teradu dalam menindaklanjuti Tanggapan/Masukan Masyarakat atas nama Wan Vibowo sebagaimana Formulir Nomor 01/TGP/MSY/IX/2024, tertanggal 21 September 2024 merupakan tindakan yang tidak dibenarkan menurut hukum dan etika penyelenggara Pemilu. Dalih Para Teradu tidak menindaklanjuti karena masukan/tanggapan tersebut tidak dilengkapi dengan identitas yang lengkap (KTP) dan disampaikan di luar jadwal, menurut DKPP, tidak dibenarkan menurut hukum dan etika penyelenggara Pemilu.” Dengan pertimbangan ini secara logika a contrario berarti DKPP berpendapat bahwa tanggapan Masyarakat yang tidak dilengkapi dengan identitas lengkap dan tidak disampaikan dalam rentang waktu yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan tetap wajib ditindaklanjuti oleh penyelenggara pemilu in casu KPU Kabupaten Pasaman.
Di sinilah DKPP keliru besar dan tidak profesional dalam menilai fakta atau peristiwa hukum dalam sebuah perkara. Kelengkapan identitas dan rentang waktu yang ditentukan ini merupakan bagian syarat atau hukum formil dalam sebuah Tindakan hukum. DKPP sendiri selalu berhadapan dengan pemenuhan syarat formol ini, di mana jika syarat formil sebuah laporan atau pengaduan in casu tanggapan Masyarakat tidak terpenuhi, maka substansi atau hukum materil laporan tidak layak untuk dipertimbangkan.
Maka di sini DKPP seharusnya membenarkan Tindakan KPU Kabupaten Pasaman. Jadi clear, penetapan status Anggit Kurniawan sebagai calon tetap wakil bupati Pasaman telah sah berdasarkan tata cara yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penilaian DKPP inilah yang justeru telah melanggar asas kepastian hukum, tidak saja menabrak hak hukum KPU Kabupaten Pasaman, bahkan juga telah menabrak hak hukum Anggit Kurniawan selaku calon sah wakil bupati dalam pemilihan bupati di Kabupaten Pasaman. Tindakan keliru DKPP ini layak diberi sanksi etik melalui sebuah putusan Majelis Kehormatan DKPP sesuai dengan ketentuan Peraturan DKPP nomor 4 tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku DKPP. Ironisnya, beleid ini justeru merupakan produk DKPP sendiri. Sudah selayaknya DKPP sangat memahami pedoman perilaku ini.
Di samping itu, menurut ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf a Undang-undang nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, badan atau pejabat pemerintahan dilarang melampaui masa jabatan atau batas waktu berlakunya wewenang. Dalam perkara a quo jelas bahwa KPU Kabupaten Pasaman hanya berwenang menerima dan menindaklanjuti tanggapan masyarakat dalam batas waktu yang ditentukan yaitu tanggal 15-18 September 2024. Sedangkan tanggapan Masyarakat a quo disampaikan pada tanggal 21 September 2024, dimana KPU Kabupaten Pasaman tidak lagi berwenang menerima dan menindaklanjutinya. Justeru penilaian DKPP yang secara contrario mewajibkan untuk menindaklanjutinya ini yang jelas-jelas bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dan dengan demikian disebut sebagai penilaian yang tidak berkepastian hukum.
Penilaian kedua DKPP menjatuhkan sanksi peringatan keras berbunyi, “DKPP menilai Para Teradu tidak cermat dalam memahami substansi dari tanggapan/masukan atas nama Wan Vibowo terkait dengan keterpenuhan syarat calon sebagaimana ketentuan Pasal 14 huruf f jo. Pasal 20 ayat (2) huruf b angka 2 PKPU 8/2024. DKPP menilai, seharusnya Para Teradu memahami bahwa dalam hal calon yang bersangkutan merupakan Mantan Terpidana sebagaimana tanggapan/masukan atas nama Wan Vibowo akan berakibat pada Tidak Memenuhi Syarat Pencalonan/Calon atas nama Anggit Kurniawan Nasution sebagai calon Wakil Bupati Pasaman Tahun 2024.” Dalam penilaian ini DKPP telah mencampuradukkan peristiwa hukum tanggapan Masyarakat dengan temuan dugaan tidak lagi memenuhi syarat nya Anggit Kurniawan sebagai calon wakil bupati Pasaman.
Seharusnya DKPP mempertimbangkan syarat yang diduga tidak lagi terpenuhi tersebut in casu syarat calon bupati dan wakil bupati terkait dengan status pemidanaan yang pernah dialaminya. Syarat a quo termaktub pada Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada nomor 10 tahun 2016 yang telah dilakukan judicial review oleh Mahkamah Konstitusi dan diputus dengan putusan nomor 71/PUU-XXIV/2016 dengan amar putusan terkait “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”.
Syarat utamanya Adalah “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”. Anggit Kurniawan masih memenuhi syarat karena ia hanya pernah dipidana dengan ancaman 1-4 tahun. Dengan demikian ia tidak memerlukan syarat dispensasi atau pengecualian “kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa” dan juga tidak membutuhkan syarat alternatif “atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”.
Dengan demikian Tindakan KPU Kabupaten Pasaman yang tidak membatalkan pencalonan Anggit Kurniawan atas temuan dugaan tidak lagi memenuhi syarat sudah benar menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku karena secara substansi syarat itu masih terpenuhi. Demikian juga Tindakan klarifikasi ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pun tidak diperlukan. Maka penilaian ketiga DKPP “DKPP menilai, bahwa Para Teradu sudah “menutup mata” dan tidak mau menindaklanjuti bukti yang disampaikan dengan melakukan klarifikasi kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan jelas merupakan tindakan yang tidak dibenarkan menurut hukum dan etika penyelenggara Pemilu” menjadi tidak beralasan.
Penilaian keempat DKPP adalah “DKPP menilai bahwa akibat tidak terpenuhinya syarat calon Wakil Bupati Pasaman Tahun 2024 atas nama Anggit Kurniawan Nasution, sebagaimana uraian fakta tersebut tidak terlepas dari ketidakcermatan dan ketidakprofesionalan Para Teradu dalam menindaklanjuti tanggapan/masukan atas nama Wan Vibowo”. Penilaian ini pun tidak beralasan karena pada faktanya Anggit Kurniawan masih memenuhi syarat yang ditentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana telah diterangkan di atas.
Inilah uraian kekeliruan DKPP dalam memutus perkara nomor 69-PKE-DKPP/II/2025. Alih-alih menjamin tegaknya kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu, putusan ini justeru menabrak asas-asas kode etik dan pedoman perilaku a quo dan mendorong penyelenggara pemilu, in casu KPU Kabupaten Pasaman untuk melanggar kode etik dan pedoman perilaku yang telah berhasil dihindarinya. Dengan kekeliruan ini, DKPP bahkan telah melakukan pelanggaran serius terhadap Peraturan DKPP nomor 4 tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku DKPP. DKPP layak menerima sanksi yang lebih berat dari yang diputusnya terhadap KPU Kabupaten Pasaman sebab peraturan DKPP nomor 4 tahun 2017 yang mereka langar ini Adalah produk hukum yang mereka buat sendiri sehingga pelanggaran ini merupakan Tindakan yang memalukan. (*)










