SAWAHLUNTO, HARIANHALUAN.ID — Kemeriahan Sawahlunto International Songket Silungkang Carnival (SISSCA) 2025 sukses mengangkat pamor songket Silungkang di kancah nasional hingga internasional. Namun, di balik gemerlap panggung budaya itu, dampak langsung terhadap penjualan songket para pedagang dan pengrajin di Sawahlunto ternyata masih beragam.
Salmi Mardiah, pemilik Toko Songket Aina di pinggir Jalan Lintas Sumatra, Desa Silungkang Tigo, mengaku penjualan pasca-SISSCA belum banyak berubah.
“Promosi sudah bagus lewat SISSCA, tapi untuk penjualan belum terlalu berpengaruh. Pembelian songket masih banyak dari dinas-dinas di Sawahlunto. Konsumen juga lebih memilih langsung ke pengrajin, karena harganya lebih murah,” katanya, Jumat (13/9/2025).
Berbeda dengan Salmi, pengrajin songket Benny Saputra justru merasakan angin segar. Menurutnya, ada peningkatan meski belum signifikan. Strategi memasarkan produknya lewat TikTok dan Instagram sebelum perhelatan SISSCA dinilai membantu memperluas pasar.
“Alhamdulillah, rata-rata saya bisa menjual satu potong per hari, dengan harga mulai Rp750 ribu hingga Rp3 juta. Bahkan, penjualan sudah tembus ke Malaysia dan Singapura,” ucap warga Lunto Barat itu.
Benny pun mengapresiasi pemerintah daerah yang rutin menggelar SISSCA. “Saya berterima kasih karena melalui SISSCA, penjelasan tentang songket Silungkang ke pelanggan jadi lebih mudah. Mereka lebih paham makna dan nilai budaya di balik sehelai songket,” ujarnya.
Meski berbeda pengalaman, baik pedagang maupun pengrajin sepakat pasar lokal Sawahlunto memang terbatas. Karena itu, memperkuat penjualan daring, mengemas songket dalam bentuk souvenir, hingga memperluas jaringan reseller di luar daerah dinilai menjadi kunci agar warisan budaya Silungkang ini tetap hidup dan semakin mendunia. (*)














