PADANG, HARIANHALUAN.ID — Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) bukan hanya sekadar jalan pintas untuk melegalkan aktivitas tambang rakyat, melainkan momentum untuk menata ulang pengelolaan sumber daya alam (SDA) agar lebih adil dan berkelanjutan. Oleh karena itu, penetapannya pun tidak boleh asal-asalan.
Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sumbar, Helmi Heriyanto menyatakan, saat ini diperkirakan ada sekitar 200 hingga 300 titik pertambangan tanpa izin (PETI) yang tersebar di berbagai wilayah di Sumbar.
Sebagai langkah legalisasi, Pemprov Sumbar telah mengajukan penetapan WPR ke pemerintah pusat. Sumbar bahkan menjadi salah satu dari tiga provinsi di Indonesia selain Sulawesi Utara dan Gorontalo yang mendapat prioritas percepatan WPR.
“Sejauh ini kami sudah dua kali rapat dengan Kementerian ESDM, yaitu pada 26 Agustus dan 9 September 2025 lalu. Pertemuan itu untuk mempersiapkan survei penyusunan dokumen pengelolaan lingkungan WPR. Dalam minggu ini, tim dari Kementerian ESDM akan segera turun untuk melaksanakan survei lapangan,” ujar Helmi kepada Haluan, Senin (15/9).
Helmi menjelaskan, usulan WPR Sumbar mengalami penyesuaian setelah diverifikasi oleh Kementerian. Luasan awal 17.700 hektare kini berkurang menjadi 14.100 hektare. Begitu juga jumlah blok yang diajukan, dari 490 blok menyusut menjadi 345 blok.
Mempertimbangkan sudah begitu masifnya aktivitas PETI di Sumbar, pemerintah pusat sepakat melakukan akselarasi percepatan penyusunan dokumen lingkungan WPR yang telah diajukan. “Awalnya kami mengusulkan percepatan untuk 56 blok. Namun karena keterbatasan anggaran, Kementerian ESDM hanya menyetujui lima blok,” kata Helmi.














