Kelima blok prioritas itu antara lain, Blok Balun 2 di Kabupaten Solok Selatan seluas 99,42 hektare, Blok Lubuk Sagu 1 di Kabupaten Dharmasraya seluas 39,4 hektare, Blok Koto Pulasan Sijunjung seluas 99,54 hektare, Blok Sepayang 4 di Kabupaten Solok seluas 27, 42 hektare, dan Blok Palembayan di Kabupaten Agam seluas 18,20 hektare.
Ia menjelaskan, idealnya, dokumen pengelolaan lingkungan disusun setelah WPR ditetapkan melalui SK Menteri ESDM. Namun melihat situasi yang ada, Menteri ESDM menilai penetapan WPR perlu dilakukan paralel, sehingga proses penetapan lokasi dan penyusunan dokumen lingkungan bisa berjalan bersamaan.
Pengusulan WPR, ujar Helmi, merupakan bagian dari skema legalisasi tambang rakyat. Skema ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus menekan pertambangan liar yang punya implikasi hukum serta membawa dampak negatif secara ekologis maupun sosial.
“Melalui penetapan WPR, masyarakat yang beraktivitas di sektor tambang tidak lagi bergerak di wilayah hukum abu-abu. Kami upayakan agar mereka tidak hanya sekedar buruh harian. Tapi bagaimana agar masyarakat bisa mendapatkan manfaat dan keuntungan yang lebih besar karena memiliki legalitas untuk mengelola potensi tambang,” ujarnya.
Helmi menjelaskan, esensi WPR maupun Izin Pertambangan Rakyat (IPR)—yang nantinya akan diterbitkan setelah adanya penetapan WPR dari Kementerian ESDM—adalah pemberdayaan masyarakat lokal. Khususnya di wilayah nagari yang berada di sekitar lokasi tambang.
Untuk mendukung hal tersebut, Pemprov Sumbar berencana menghubungkan pengelolaan WPR dengan program nasional Koperasi Merah Putih (KMP) yang saat ini tengah didorong oleh Presiden RI Prabowo Subianto dan didukung oleh Menteri ESDM.














