PADANG, HARIANHALUAN.ID — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumbar mengingatkan pemerintah agar berhati-hati dalam menetapkan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR). Jika tidak dilakukan dengan cermat, penetapan WPR dikhawatirkan hanya akan memperparah kerusakan lingkungan yang telah terlanjur terjadi akibat maraknya keberadaan PETI.
Kepala Departemen Advokasi Walhi Sumbar, Tommy Adam menyebutkan, aktivitas tambang ilegal di Sumbar sudah berada pada tahap yang sangat mengkhawatirkan. Berdasarkan catatan Walhi, luas lahan tambang ilegal di Sumbar mencapai lebih dari 10 ribu hektare.
Dari jumlah tersebut, sekitar 7.600 hektare berada di sepanjang aliran Sungai Batang Hari, Batang Gumanti, Batang Bangko, dan Batang Kiah yang membentang di Kabupaten Solok, Solok Selatan, Sijunjung, serta Dharmasraya. Sementara sekitar 2.600 hektare lainnya ditemukan di wilayah Kabupaten Pasaman, tepatnya di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Pasaman dan DAS Batahan.
“Bukaan tambang emas ilegal bahkan sudah merangsek ke kawasan hutan maupun Areal Penggunaan Lain (APL) yang dikuasai perusahaan sawit. Kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya telah memicu bencana ekologis serta pencemaran merkuri di berbagai DAS, termasuk Batang Hari,” ujar Tommy kepada Haluan, Senin (15/9).
Ia menegaskan, penetapan WPR tidak boleh dilakukan secara serampangan. Pemerintah daerah harus memastikan lokasi WPR tidak berada di dalam kawasan hutan, minim risiko, serta sesuai dengan peruntukan tata ruang wilayah masing-masing daerah. Selain itu, pengelolaan tambang di area WPR harus benar-benar dikelola masyarakat lokal.
“Jangan sampai WPR hanya dijadikan kedok, sementara manfaat ekonominya justru dinikmati oleh segelintir pihak yang punya modal besar. Prinsipnya, pengelolaan tambang rakyat harus benar-benar dilakukan oleh rakyat, dalam skala kecil, tanpa alat berat, tanpa bahan kimia berbahaya, dan memperhatikan keberlanjutan lingkungan,” tutur Tommy.














